Sabtu, 14 April 2018

Art of Facing Bully (Part 1) - Guardian Angel



Bully. Salah satu momok dan sumber kekhawatiran orangtua manapun di jagad raya. Termasuk saya. Apalagi koleksi anak cowok saya ada empat orang. Kan konon katanya menurut gosip kabar burung, cah lanang lebih potensial berhadapan dengan buli-membuli.

Menurut teori parenting kekinian, salah satu antisipasi yang dapat dilakukan untuk mengatasi bully adalah dengan mengajarkan anak untuk bisa:
bicara
lawan
lapor
lari
bila perlu dilengkapi dengan melakukan role play atau simulasi latihan di rumah.

Yang tersebut di atas adalah ilmu kekinian yang baru beberapa tahun ini saya ketahui setelah rajin ikut workshop parenting hehe..

Jaman dulu ketika anak pertama dan kedua saya baru masuk usia SD sih, saya hanya mengajarkan dasar konsep hukum qishoh secara islam pada anak-anak..

jika ada yang memukul, boleh silahkan membalas pukul di tempat yang sama..
dengan catatan: tidak boleh membalas di area wajah, kepala dan bagian tengah tubuh..
Buka atlas anatomi tubuh juga untuk menjelaskan bahwa bagian tengah tubuh banyak memiliki organ penting.. sehingga beresiko fatal jika terkena kekerasan fisik..
Hanya boleh membalas secara fisik di bagian tangan atau kaki..
Namun jika ingin memaafkan dan mengikhlaskan pun tak masalah.

Kebetulan, kelima anak saya memiliki karakter dasar yang berbeda-beda satu sama lain...
Sehingga walaupun saya menanamkan (memberi teori arahan) yang sama pada semua anak sebagai landasan untuk "menghadapi" potensi bully dari lingkungan sekitar, namun ternyata kelima anak saya memiliki cara dan seni implementasinya masing-masing saat berhadapan dengan tindak bully.

So, lets the story begin…

Rhuma (16th), karakter dasarnya asertif dan reaksioner. Kalau kata orang betawi tipe yang "Lu jual gua beli."

Kalau dipukul pasti balas pukul, kalau ditendang juga balas tendang. Untuk Rhuma saya sangat wanti-wanti agar JANGAN pernah memulai tindakan fisik lebih dulu. Supaya lebih dulu bicara sebelum balas main fisik. Tapi jika terpaksa, kalau mau melakukan qishosh, silahkan.

Sejak Rhuma kelas satu SD saya sampai merasa perlu menjelaskan tentang resiko tuntutan hukum pidana jika lebih dulu main fisik. Karena temperamennya waktu kecil sangat meledak-ledak.

Sejak kelas 1 SD beberapa kali diselengkat teman saat sedang berjalan di lorong sekolah, karena saat ulangan tidak mau memberi contekan. Beberapa kali berakhir dengan saling tonjok sebelum akhirnya dipisahkan oleh Bu Guru. Alhamdulillah Rhuma selalu berhasil menahan diri untuk tidak mulai pukul duluan, dan ini disaksikan olah banyak temannya, bahwa Rhuma hanya membela diri. Sehingga lama kelamaan para guru paham, jika Rhuma adu jotos dengan oknum temannya, itu pasti karena membela diri.

Tantangannya mulai terasa saat Roha yang harus berhadapan dengan potensi bully. Roha (15th) anak kedua yang selisih usianya hanya 11 bulan dengan abangnya. Adalah anak spesial dengan ADHD. Mungkin karena faktor ADHD-nya itu, atau mungkin karena salah satu karakter dasarnya lebih dominan ‘feeling’ daripada ‘thinking’, atau entah saya yang belum berhasil menanamkan ‘boundaries' pada Roha saat itu, Roha seringkali tidak sadar bahwa telah mendapat perilaku bully dari temannya..

Hal ini ternyata juga diamati oleh salah satu gurunya. Karena pernah pak guru berkata, "Mama Roha, saya tuh kadang lihat menurut saya Roha dibully dikerjain sama temannya, tapi Roha-nya kok kayak ga ngeh. Ga selalu bully fisik juga sih Mam.. Kalau saya kebetulan lihat sih pasti langsung saya turun tangan. Tapi kadang saya kepikiran juga, kalau saya pas ga lihat gimana ya?"

Menimbang kondisi Roha yang bermasalah dengan fokusnya, dan melihat karakter Rhuma yang super asertif, saya dan suami akhirnya mem-plot Rhuma menjadi 'guardian angel' bagi Roha di sekolah.

Suami selalu berpesan agar Rhuma menjaga adiknya di sekolah. Juga berpesan pada Roha, supaya kalau ada apa-apa, diganggu teman dll, agar segera lapor ke Bang Rhuma.

Hal ini berlangsung sejak Roha kelas 1 dan Rhuma kelas 2, hingga Roha kelas 5 SD...

Lama kelamaan Roha terlena dengan proteksi abangnya. Disenggol temannya sedikit, langsung lapor Rhuma. Kalau bukan dia lapor sendiri, seringkali sahabat-sahabatnya langsung lari ke kelas Rhuma, melaporkan bahwa Roha diganggu si anu.

Di rumah pun Roha akan cerita, bahwa di sekolah diganggu si anu. Jika sudah ada laporan begitu, suami saya biasanya langsung memanggil Rhuma dan bertanya kenapa adiknya tidak dijaga.

Ternyata....
itu adalah kesalahan besar kami sebagai orangtua…

Di kelas 6 SD, Rhuma akhirnya merasa terganggu. Suatu hari Rhuma bertanya:

"Umi, kenapa aku harus selalu jagain dedek? Kenapa dia ga jaga diri sendiri? Sampai kapan harus jagain dedek terus?

Aku sejak TK ga pernah ada yang jagain di sekolah. Aku harus selalu lawan sendiri semua orang yang ganggu aku. Ai aja yang masih kelas 2 ga perlu aku jagain.. kenapa Roha sudah kelas 5 masih harus dilindungi?

Aku sekarang sudah kelas 6 miy, masa sih kalau aku lagi ambil nilai olahraga di lapangan, lagi kerjain tugas di kelas, trus tiba-tiba Roha atau temannya datang laporan kalau diganggu.. trus aku harus jagain, beresin yang kayak gitu... padahal aku sedang ambil nilai juga..

Aku sebentar lagi udah SMP, nanti kalau ga ada aku, siapa yang mau jagain dedek di sekolah kalau dia ga bisa jaga diri sendiri?

Padahal cuma sekali aja Roha berani ngelawan, ga bakal ada lagi yang ganggu dia. Temannya suka ganggu dia kan karena dia gampang mewek."

Dengar protes Rhuma, hati saya nyessss...

Ya…
Saya salah, salah besar pada Rhuma..

Kami, orangtuanya saja, tidak mampu menjaga dan melindungi Roha di sekolah. Tapi kami melimpahkan tanggungjawab sebesar itu pada seorang anak SD sejak usianya belum genap 8th..

Suami saya selama ini selalu memberi contoh cerita, bahwa dulu beliau selalu melindungi adiknya di sekolah.
Tapi ada satu hal yang pak suami lupakan.. Semasa kecilnya, suami saya tinggal di sebuah komplek khusus aparat bersenjata. Dan sesama anak aparat penegak hukum, jika berada di luar komplek, maka mereka solid dan saling melindungi. Dan mayoritas nak-anak sekomplek saat itu semua bersekolah di sekolah yang sama.

Jadi walaupun suami juga anak sulung, tidak punya kakak kandung, tapi sejak awal masuk sekolah dulu, juga mendapat proteksi penuh di sekolah dari 'kakak-kakak' sesama warga komplek aparat penegak hukum. Dan sudah menjadi tradisi, dia pun wajib melindungi 'adik-adik' nya di sekolah.

Nah proteksi semacam itu yang sama sekali tidak pernah didapatkan Rhuma dari siapa pun.

Setelah Rhuma protes, saya bicara pada Roha, menyampaikan semua keberatan abangnya...

Kira-kira 2 minggu setelah bincang empat mata kami, Roha pulang sekolah dengan kantung mata lebam biru..

Tapi wajahnya sangat ceria...
Masuk rumah langsung teriak "miy, tadi dedek menang lawan teman dedek.",
berlanjut cerita bahwa saat istirahat sepedanya dimainkan sembarangan oleh seorang teman tanpa izin Roha.

Roha tidak suka, berusaha mengambil, tapi malah ditendang oleh si oknum temannya. Roha membalas tendang, hingga berakhir adu pukul. Sampai akhirnya dilerai pak guru dan dibawa ke uks...

Waaah itu salah satu ‘precious moment’ buat saya hehe 😝..
Karena saat itu Rhuma langsung lari keluar menyambut adiknya, bertanya dengan penasaran “wah, dedek ngelawan dek? berani tadi?”,
Dan takzim mendengarkan cerita Roha dengan senyum. Tapi yang paling saya ingat sampai sekarang adalah, binar-binar bangga di mata Rhuma melihat si adik kecil akhirnya berani "melawan"

=BERSAMBUNG=

#dibuangsayang
#udahcapekngetik
#edisisharingdi.wa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar