Sabtu, 14 April 2018

Art of Facing Bully (Part 3) - Doa dan Empati



Azza (10th) sekarang kelas 4 SD. Anak cewek semata wayang nih hehe..
ternyata kasus perbulian di kalangan anak cewek sedikit lebih njelimet daripada di antara cowok (menurut saya sih ini ya).
 Di kalangan cewek, status bully sepertinya lebih "blur" rancu dan abu-abu batasan benar-salahnya..
Beda dengan para cowok yang lebih hitam putih nyata benar dan salahnya.

Yang saya amati di lingkup pertemanan Azza, bully di kalangan anak cewek lebih dominan versi verbal ...
Faktor pengaruh suara terbanyak atau pendapat 'sosok teman yang punya pengaruh dominan' juga jadi penentu terhadap arti kata benar dan salah.
Jadi konteks benar atau salah sering kali ditentukan oleh pendapat teman yang punya pengaruh besar, atau oleh suara terbanyak.

Misalnya suatu hari Sabtu saat selesai kegiatan ekskul di sekolah, salah satu teman Azza, si D merasa kehilangan uang di dalam tas... entah bagaimana ceritanya, si S yang sering dianggap leader di gang mereka tiba-tiba nyeletuk: "ah paling juga Azza yang ngambil tuh, tadi kan dia berdiri disitu."

Langsung weh semua teman se-gang Azza setuju dan sepakat bahwa Azza lah pelakunya walaupun tanpa bukti otentik.
Sekuat tenaga Azza membela diri dan menjelaskan kronologi kejadiannya, tapi tak satu pun teman ada yang percaya. Meminta bantuan guru pun tak bisa, karena kejadiannya setelah jam selesai kegiatan sekolah.

Sepanjang perjalanan pulang dari sekolah, Azza menangis curhat menceritakan kronologis kejadiannya.

Setelah tangisnya reda, saya coba gali perasaannya. Azza merasa difitnah. Marah, kesal, kecewa karena dituduh tanpa bukti dan tidak dipercaya teman-temannya... padahal mereka semua selama ini adalah teman akrab se-gang..

Ketika saya tanyakan, apa yang ingin dilakukan..
Setelah diam lama, jawab Azza: "ya Azza bisa apa... Azza juga bingung harus ngapain.. tadi aja udah ngotot jelasin tetap ga ada yang percaya...
ya udahlah Azza doa aja minta ke Allah biar dibuktiin kalau bukan Azza yang ambil."

Saya menghormati pilihannya minta tolong kepada Sang Maha Besar..

Ya so what..
kalau saat itu Azza merasa mentok ‘dunno what to do?’
Dia toh masih 9 th saat itu. Lah saya yang sudah dewasa aja masih sering mengalami masa butek otak, stagnan ga bisa mikir kok…
Juga tak ada yang salah tho, sejenak melupakan juklak antibully bicara-lawan-lapor-lari, untuk berpasrah diri memohon bantuan Sang Pencipta.

Dan ketika masuk sekolah di hari senin, si D menghampiri minta maaf, karena ternyata uang yang dipikir ada di tas itu, sebenarnya tertinggal di rumah 🤗

Di lain hari, ketika selesai pelajaran olahraga, para murid perempuan berganti baju di ruang ganti... Azza yang ketua kelas menjadi penjaga pintu ruang ganti agar tidak ada anak cowok yang ikut ‘nyelonong’ masuk…

Tiba-tiba ada beberapa orang murid laki-laki kakak kelas yang bercanda agak kelewatan memaksa mendorong buka pintu, Azza yang berusaha mempertahankan agar pintu tidak terbuka, akhirnya meledak marah... mengambil sapu dan lari mengejar cowok-cowok itu di luar ruang ganti.

Sewaktu kembali ke ruang ganti, respon teman-teman perempuan ternyata malah, "Ih Azza, berani banget sih kamu.. itu kan kakak kelas.".
 "Iya ih Azza, kan ga sopan Za sama kakak kelas begitu.."

Sampai rumah Azza masih terpaku bingung.. dan jadi mempertanyakan standard moralnya sendiri..
Merasa melakukan hal yang benar, bahkan demi kepentingan banyak orang (teman-teman ceweknya)... tapi ternyata teman-teman yang dibelanya malah menghujat, mencela dan menyalahkan tindakannya.
Azza jadi meragukan diri sendiri, apakah sudah melakukan hal yang benar atau tidak....

Kebetulan, beberapa hari sebelum kejadian itu, saya berdiskusi dengan salah satu teman yang berprofesi sebagai psikolog. Menurut teman saya itu, dalam memberi pemahaman tentang bully kepada anak, harus melihat dulu karakter dasar si anak apakah sudah cukup asertif atau tidak.

Untuk anak yang dasarnya BELUM bisa asertif, sebaiknya jangan dulu mengajarkan empati untuk memahami dan memaafkan tindakan tidak menyenangkan yang diterima dari lingkungan sekitarnya..

Karena anak tipe ini bawaan karakter aslinya sudah punya dasar empati...
Sebaiknya, ajarkan dia untuk berani bilang tidak dan 'sedikit egois' menjaga boundaries (batas nyaman)..

Sebaliknya, anak yang dasarnya sudah cukup asertif, baru boleh diajarkan untuk berempati, namun tetap menjaga boundariesnya...

Karena Azza tampaknya basic karakternya sudah cukup asertif, cukup memahami batas nyamannya, berani ‘speak up’ mengutarakan dan mempertahankan pendapat,
maka saya mencoba mengajaknya berempati pada kondisi teman-temannya..

Di antara mereka ada yang anak yatim
Ada yang anak piatu
Ada yang anak tukang ojek dan buruh cuci
Ada yang orangtuanya ‘single parent’ dan lain-lain..

Dengan latar belakang beragam, ada kemungkinan teman-temannya jarang ngobrol dengan orangtua... mungkin mereka belum mengerti batas antara kesopanan dan membela diri..
belum mengerti tindakan mana yang harus dimaklumi, dan perilaku apa yang tidak bisa ditolerir.
Mungkin belum paham bahwa orang yang lebih tua usianya (misalnya kakak kelas) pun bisa melakukan kesalahan dan tidak selamanya benar…
Dan berbagai kemungkinan yang lain.

Fiuuhhh.. PR besar untuk emaknya, menanamkan prinsip-prinsip kebenaran agar ananda bisa teguh dan tidak mudah terpengaruh suara mayoritas semata. Juga memberi pemahaman tentang batasan nyaman tentunya.

#PRmasihBanyak

BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar