Sabtu, 14 April 2018

KOMUNIKASI PALING PRODUKTIF



Dua minggu terakhir menghadapi tantangan 10 hari komunikasi produktif, membuat saya lebih jeli dan teliti mengamati kebutuhan trik dan cara berkomunikasi yang berbeda-beda untuk tiap anggota keluarga.

Pengamatan yang tidak hanya memerlukan panca indera dan logika, tapi juga perlu mengaktivasi kepekaan  dan “rasa" dalam meraba suasana hati lawan bicara. Butuh kejelian untuk membaca kebutuhan apakah harus memberi respon aktif, atau hanya perlu diam menjadi pendengar aktif.

Hasil dari komunikasi yang produktif dan efektif pun tidak melulu instan. Hal ini makin saya sadari saat mengamati beberapa reaksi positif atau pun kurang positif yang saya terima ternyata adalah buah dari komunikasi produktif yang terjadi selang bertahun-tahun yang lalu.

Selama dua minggu terakhir ini pun ingatan saya seringkali melayang pada memori komunikasi antara saya dan ibu saya yang berlangsung sekitar 24 tahun yang lalu (saat itu usia saya 11 tahun, kelas 6 SD). Dalam suatu percakapan santai sore hari, saat itu Ibu bercerita, bahwa sejak Ibu mengandung anak-anaknya, beliau sudah mulai mendoakan segala doa baik untuk si janin, termasuk doa tentang pendamping hidup anak-anaknya. Ibu sudah memintakan jodoh-jodoh barokah untuk kami, sejak kami masih berwujud janin di rahim. Saat itu, rekan-rekan Ibu banyak yang menertawakan doa tersebut. Wong anaknya aja belum lahir kok sudah dimintain jodoh...

Tapi logika Ibu cukup masuk akal. Karena dalilnya, doa itu ada yang; (1) langsung dikabulkan oleh Allah, (2) dikabulkan namun ditunda, (3) diganti dengan qodar yang lebih baik. Jadi menurut Ibu tak ada salahnya memintakan jodoh sejak dini, karena kita tidak pernah tahu, doa kita akan langsung dikabulkan atau ditunda.

Saat itu, dalam benak saya sebagai bocah 11 tahun kelas 6 SD, pendapat Ibu sangat logis. Dan saya pun mulai berhitung. Jika saat itu saya mulai berdoa agar jodoh saya dilancarkan, maka saya setidaknya harus menunggu 7 tahun lagi baru bisa bertemu jodoh saya (era modern ini kan perempuan menikah paling muda usia 18th, setelah lulus SMA ya..). Itu pun hitungannya kalau doa saya langsung dikabulkan. Lah kalau ditunda? Harus berapa lama dong saya menunggu hehe…

Maka sejak sore itu, saya meneladani apa yang Ibu lakukan. Saya mulai mendoakan tentang jodoh saya, selain doa tentang sekolah dan sebagainya. Sejak itu juga di usia 11 tahun saya mulai meminta berbagai hal baik untuk calon anak-anak saya kelak di masa depan. Dan dalam salah satu doa, saya juga meminta agar selalu diberi kemudahan dan supaya tidak pernah merasa kerepotan dalam mengurus dan mengasuh anak-anak saya kelak.

Setiap selesai solat wajib atau pun sunnah saya bisa duduk lebih dari setengah jam, karena doa yang saya sebutkan sangat panjang deretannya melampaui dimensi waktu dan generasi (saaaaah…)

Eh kok ya ndilalahnya, entah karena doa saya yang overdosis atau gimana, qodarullah saya resmi berjodoh di usia 18 tahun. Melahirkan anak pertama di usia 19 tahun. Usia 20 tahun saya melahirkan anak kedua. Usia 28 anak saya sudah berjumlah lima orang. Saat teman-teman kampus bereksplorasi di berbagai kesempatan di berbagai penjuru, dunia saya hanyalah rumah dan kampus. Saya menyelesaikan studi di Bandung bersama dua balita, sementara suami, orangtua dan mertua berdomisili di Jakarta.

Dulu, masa-masa awal saya menjadi ibu di awal 2000an, arus informasi tentang anak dan parenting belum semudah sekarang. Jauh dari orangtua dan mertua membuat saya minim bimbingan. Menjadi pionir urusan rumah tangga di lingkup pergaulan saya, membuat saya nyaris tak punya pembanding untuk berbagi pengalaman.

Dua tahun terakhir, saat rekan-rekan seangkatan saya juga sudah berjibaku dengan berbagai tantangan sebagai ibu, baru saya menyadari, betapa buanyaaaaak kemudahan yang Sang Pencipta berikan untuk saya.
Ketika ada yang bertanya apa saja yang harus dilakukan selama masa kehamilan agar bisa melahirkan dengan normal… saya bingung menjawab, kata orang-orang terdekat saya melalui proses persalinan normal seperti kucing beranak, dengan minim rasa sakit.

Saat seorang teman bertanya bagaimana tips agar anak doyan makan, tidak ‘picky eater’, dan berat badannya stabil.. saya berpikir keras harus berkata apa, karena semua anak saya susah stop kalau sudah makan. Berat badan pun tak pernah bermasalah.

Suatu hari saya mendapat japri wa, menanyakan bagaimana cara menyapih yang efektif… Well, I dont know anything ‘bout that. Kelima anak saya tetiba saja stop dan menolak diberi asi.
Juga ketika seorang rekan curhat pusingnya mengajari anak membaca (saat itu empat orang anak saya sudah sekolah level SD dan SMP)... saya cuma bisa garuk-garuk kepala, sebab keempat anak saya pun tiba-tiba bisa membaca tanpa pernah saya ajari.
Demikian pun saat beberapa tahun terakhir tarif gaji ART mencapai angka fantastis, saya tak lagi berminat mencari asisten karena kelima anak saya sudah bisa diberdayakan qiqiqiqi (ketawa licik). Toh juga sudah 10 tahun ini kami tak memakai ‘helper' dari luar rumah.

Pun saat banyak teman saling curhat tentang mati gaya mereka mencari alternatif kegiatan manfaat dan edukatif pengganti aneka permainan berbasis komputer di era propaganda ‘gadgetless’ ini, saya jadi bersyukur memiliki banyak anak dengan jarak usia berdekatan (fakta yang dahulu sempat membuat saya merasa tertekan, sejujurnya). Emak yang dasarnya kurang kreatif ini jadi tak terlalu pusing memikirkan kegiatan atau mainan, kalau lima anak itu sudah berkumpul (ga usah nunggu lima full deh… 3 of them aja sudah cukup lah..) apapun bisa terjadi, apa pun bisa jadi bahan bermain dan eksplorasi.

Semua hal-hal (yang tadinya) saya pikir remeh temeh, ternyata tidak remeh. Dulu, karena saya kurang bergaul, saya pikir semua balita itu ya seperti anak-anak saya, yang semua makanan mau dimasukkan ke mulut. Sayur daun singkong sepanci pun habis dilahab para balita itu. Belakangan saya baru tahu bahwa anak yang susah makan itu ternyata menghabiskan jauh lebih banyak biaya daripada yang susah stop saat makan.Dulu saya kira menyapih asi itu ya begitu aja.. bukan hal besar bagi semua ibu, tak butuh perencanaan serius yang perlu taktik dan strategi. Saya kira semua hal tersebut di atas memang lumrah adanya.

Dua minggu terakhir saya makin menyadari bahwa semua itu ternyata adalah anugerah dan kemudahan yang diberikan Allah untuk saya. Semua kemudahan itu bukan karena saya berwawasan luas, bukan karena saya pintar berstrategi dalam mengatasi berbagai tantangan. Satu-satunya yang terbersit di benak saya adalah, bahwa semua kemudahan itu kemungkinan besar merupakan jawaban Sang Pencipta atas tabungan doa saya selama bertahun-tahun sejak saya berusia 11 tahun.

Dua minggu terakhir, seluruh diri saya dialiri rasa syukur tak terkira. Syukur pada Ibu atas ‘sharing'nya yang menginspirasi saya 24 tahun yang lalu. Syukur pada Bapak yang melatih saya berpikir jauh ke depan sejak saya kecil. Syukur pada ilham luar biasa yang Allah berikan pada saya 24 tahun yang lampau. Nyatanya, setelah saya beranakpinak, saya merasa sangat sangat kekurangan waktu dan tenaga untuk bisa puas berkomunikasi sesuka hati pada Sang Maha Besar. Yah, saat ini saya hanya bisa berharap, tabungan doa saya di masa kecil cukup banyak untuk mengisi masa-masa saya kekurangan waktu untuk berdoa panjang lebar.

Jadi, bicara tentang komunikasi produktif, doa-doa tersebut mungkin adalah bentuk komunikasi paling produktif yang pernah saya lakukan seumur hidup saya sampai detik ini. Dan cerita inspiratif ibunda saya tercinta 24 tahun yang lalu pun salah satu wujud komunikasi verbal terproduktif dalam hidup saya.

UD’UNI ASTAJIB LAKUM
(Mintalah/ berdoalah pada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan)

#aliranrasa
#bunsayiip
Load disqus comments

0 komentar

Designed By Risa Hananti. Diberdayakan oleh Blogger.