Sejak usia 2 tahun, mulai tampak beberapa ‘keistimewaan' Roha. Jika abangnya secara umum tergolong sebagai balita yang aktif, maka Roha ruaaarrr biasa aktifnya. Memiliki tingkat keberanian di atas rata-rata dalam melakukan aktivitas fisik, seperti naik perosotan di genteng atap rumah, memanjat pohon hingga ketinggian 3 meter dan lompat begitu saja ke tanah dari ketinggian itu. Dan seolah kebal rasa sakit.
Salah satu ‘sign' yang paling tidak umum untuk balita seusianya saat itu antara lain, ketika suatu hari jari-jari montoknya terjepit di antara engsel atas dan engsel bawah jendela, dan Roha sama sekali tidak meneteskan air mata, hanya menggumam tak jelas. Kami bahkan harus memanggil tukang bangunan untuk melepaskan engsel jendela agar telapak tangannya bisa ditarik keluar. Proses saat saya menemukan telapak tangannya tersangkut di tepi jendela, saya berusaha mengeluarkan telapak tangannya dan tidak berhasil, kemudian menelepon tukang bangunan untuk datang hingga tukang tiba di rumah dan melakukan tindakan penyelamatan saja memakan waktu sekitar satu jam. Saat keluar dari pinggir jendela, jarinya sudah membiru dan lecet berdarah-darah. Tapi Roha seolah tidak merasa sakit dan sama sekali tidak menangis. Question mark!!!
Berikutnya adalah sikapnya yang sangat cepat bosan pada mainan. Mainan baru dibeli pun bisa membuatnya bosan dalam hitungan menit. Hingga usia 3 tahun, jika berjalan kakinya kebanyakan dalam posisi berjinjit. Tapi ‘sign' yang paling nyata dan paling menjadi tanda tanya adalah, di usia 3 tahun Roha belum bisa bicara. Masih menggumam tak jelas. Usia 3 tahun 3 bulan, baru bisa mengucapkan satu kata dengan jelas.
Ini yang paling menjadi tanda tanya, karena sangat diragukan bahwa Roha kekurangan stimulus untuk bicara. Setiap saat pun bermain dengan Rhuma, fyi Rhuma adalah balita yang sangat ‘talkative'. Sejak usia 1 tahun kemampuan bicaranya sudah mumpuni, dan nyaris semua orang menilai Rhuma mampu berbicara lebih cepat daripada kebanyakan balita pada umumnya. Dan kami sekeluarga pun cenderung ekstrovert dan ‘rame'. Maka menjadi tanda tanya kenapa Roha belum bisa bicara di tengah lingkungan yang ‘rame'.
Saat Roha usia 3,5 tahun akhirnya kami membawanya konsultasi ke salah satu klinik tumbuh kembang di Bandung. Dan hasil observasinya adalah, Roha terduga ADHD ringan. Dokter di klinik tersebut bahkan memberikan resep obat untuk membangkitkan syaraf bicaranya. Dan mengajari saya beberapa cara terapi yang dapat dilakukan di rumah. Juga memberi alamat beberapa klinik tumbuh kembang yang terdekat dari rumah kami di Jakarta.
Di Jakarta, saya mendatangi dua klinik tumbuh kembang lain untuk mencari ‘second opinion’, maklum saat itu emaknya masih berada pada fase ‘denial' hehe. Namun diagnosa kedua klinik tersebut pun serupa dengan dokter di klinik tumbuh kembang di Bandung.
Saat emaknya ini masih dalam tahap berusaha legowo menerima vonis ADHD, dan sedang mengumpulkan berbagai info tentang itu, qodarullah kami sekeluarga harus hijrah ke Bandar Lampung karena tuntutan pekerjaan pak bojo. Saat pindah ke Bandar Lampung, usia Roha 4,5 tahun dengan kemampuan bicara yang masih tertatih-tatih.
Berada di rantau tanpa sanak saudara, juga suami yang lebih sering berada di sebuah perkebunan mblusuk di pedalaman Jambi, hanya saya dengan anak-anak lelaki dan sedang hamil anak keempat, membuat saya merasa kekurangan waktu dan tenaga untuk lebih bereksplorasi dengan Roha. Akhirnya kami memutuskan mencari bantuan untuk membantu terapi wicaranya, dengan cara mendaftarkan Roha sekolah level TK A. Harapan kami dengan makin banyak teman bermain, kemampuan bicaranya dapat makin terlatih.
Di Bandar Lampung saat itu pun kami tidak mendapat info klinik tumbuh kembang. Saya akhirnya memutuskan untuk mempraktekkan terapi di rumah seperti yang diajarkan oleh dokter di Bandung. Dan sejak awal saya juga mantab untuk tidak menebus resep obat yang diberikan, karena merasa tidak nyaman membayangkan obat kimiawi yang tidak dijual bebas masuk ke tubuh Roha.
Setiap hari melakukan pijatan dan ketukan ringan di pipi dan rahang Roha. Beberapa kali dalam sehari memberikan minum air putih dingin dan hangat berselang-seling dalam waktu berdekatan. Perbedaan suhu air yang drastis diharapkan menimbulkan efek kejut untuk membangunkan syaraf-syaraf bicaranya. Ya, fokus awal saya saat itu adalah meningkatkan kemampuan bicaranya. Alhamdulillah selama dua tahun sekolah TK kemampuan bicaranya semakin baik.
Dari beberapa referensi yang saya baca, anak ADHD memiliki masalah dengan fokus dan konsentrasi, namun bila bertemu sesuatu yang disukainya, dia bisa over fokus hehe. Di usia TK dan kelas 1 SD, Roha tergila-gila pada peta dan atlas. Bisa berjam-jam mengamati gambar dan warna pada peta. Di usia 6 tahun, karena rajin membaca atlas, Roha sudah hafal hampir semua ibukota provinsi di negara ini. Ada gunung apa saja di propinsi anu, sungai apa saja yang melintasi pulau itu.
Daya imajinasinya juga luar biasa tinggi. Jika saya memberi kertas lipat origami pada Rhuma dan Roha, maka Rhuma akan membuat bentuk lipatan yang sudah dia ketahui karena diajarkan di sekolah, misalnya kapal laut, pesawat terbang, katak dll. Tapi Roha, selalu menciptakan bentuk-bentuk lipatan baru berdasarkan imajinasinya. Lipatan rumit kapal luar angkasa, atau beragam monster yang bahkan belum pernah ada versi film kartunnya, pistol mainan dari kertas, robot futuristik dan lain sebagainya. Roha mudah bosan pada mainan, tapi sekaligus juga tak pernah kekurangan sarana bermain. Benda apapun bisa menjadi objek bermainnya. Misalnya mengumpulkan seluruh bantal guling dan selimut di rumah, dan terciptalah mobil balap. Setelah bosan, tambahkan beberapa kursi, sapu dan pengki, jadilah roket antariksa.
Di kemudian hari, saya sangat mensyukuri daya imajinasi Roha ini. Karena sedikit banyak Roha menularkan aneka imajinasinya pada adik-adiknya, efek lanjutannya sangat positif untuk mengurangi budget dana untuk membeli mainan hehe. Di saat lego nge-hitz, alih-alih minta dibelikan lego, Roha malah setiap hari menjelajah warung ke warung di sekitar komplek perumahan kami. Entah warung sembako, warung makan ataupun warung tegal. Ternyata untuk mengumpulkan tutup botol minuman (seperti tutup botol fanta, sprite, teh botol dll) hingga berjumlah ratusan. Dicuci bersih, setelah kering, tutup-tutup botol tersebut menjadi lego ala Roha. Menciptakan miniatur candi borobudur dari lego tutup botol, juga membangun sebuah kota mini dengan jalan raya dan mobil yang melintas (dengan menambahkan mainan mobil-mobilan) adalah beberapa hasil kreasinya dengan tutup botol.
Saat masuk SD, memulai sekolah dengan level formal yang lebih serius, energi berlebih yang dimilikinya, plus fokusnya yang kurang mulai menimbulkan efek pada performanya di sekolah. Di dalam kelas, Roha dianggap ‘nakal' oleh bu guru karena tidak bisa tahan lama duduk manis di kursi. Maklum, sekolah negeri hehe. Dan kebetulan wali kelas Roha saat itu adalah guru yang sudah sepuh menjelang pensiun. Kemampuan membacanya saat kelas 1 sudah sangat baik, tapi menulis tugas di kelas tidak pernah tuntas. Saat saya mendampinginya mengerjakan PR di rumah pun, untuk menulis sepuluh baris kalimat singkat saja bisa membutuhkan waktu 4 jam.
Saat itu, untuk melatih fokusnya setiap hari kami melakukan terapi sederhana. Saya mencampurkan beberapa macam kacang-kacangan yang berbeda dalam satu wadah baskom. Dan menyiapkan beberapa botol bekas air mineral bertuliskan masing-masing jenis kacang (kacang hijau, kedelai, kacang merah, kacang tanah). Setiap hari selama beberapa menit sesuka hatinya, Roha akan memilih, memisahkan aneka kacang dalam baskom untuk dimasukkan ke dalam botol sesuai dengan nama yang tertulis di botol.
Di kelas 1 SD itu, nyaris setiap minggu saya mendapat keluhan dari wali kelas Roha tentang kemampuan akademiknya di kelas, entah melalui telepon atau sms, juga menitipkan pesan melalui Rhuma. Tak jarang (bahkan sering) pula bu guru memanggil saya ke sekolah untuk memamerkan prestasi-prestasi Roha di sekolah. Dan tidak hanya guru wali kelas saja yang mengeluhkan prestasi akademik Roha, tapi juga seluruh guru bidang studi lain di sekolah.
Ketika mulai memasuki musim ulangan harian, nilai ulangan harian Roha selalu berkisar do re mi fa. Tapi saat UTS dan UAS, nilainya sangat jauh berbeda, berada di angka 8, 9 bahkan 10. Perbedaan nilai yang mencolok ini kembali menjadi bahan pertanyaan misterius bagi saya. Why? How come???
Saya kemudian mengamati lebih teliti lagi lembar-lembar nilai ulangan harian dan UTS-UAS Roha. Ternyata saya menemukan, bahwa nilai ulangan harian Roha yang do re mi fa itu, karena memang Roha hanya menulis dan mengerjakan tiga atau empat soal dari total sepuluh soal ulangan yang diberikan bu guru. Karena saat ulangan harian, semua murid menyalin terlebih dulu soal yang diberikan, baru kemudian menulis jawabannya. Berbeda dengan UTS dan UAS yang soal ujiannya sudah diketik dan para siswa tinggal menjawab atau memberi silang.
Disinilah masalahnya, bagi Roha yang berlebih energi, bertahan lama pada satu posisi tubuh yang sama untuk waktu yang lama seperti duduk dan menulis, itu nyaris mustahil. Itulah kenapa Roha hanya sanggup bertahan duduk manis hingga selesai menulis tiga atau empat soal saja. Walaupun Roha bisa menjawab dengan benar semua soal yang berhasil ditulisnya, tetap belum mencapai standar yang diharapkan bu guru.
Saya yang saat itu masih terlena dengan segala pujian para guru kepada Rhuma, langsung tersadar, akan sulit bagi Roha untuk menyamai performa abangnya di sekolah. Jadi saya mulai melatih diri untuk bisa ‘switch mindset’ di kepala saya. Saya berusaha memandang Roha (dan juga semua anak saya) sebagai entitas manusia seutuhnya, bukan sebagai seorang pelajar/ siswa sekolah dasar. Sejak saat itu saya berusaha mengamati Roha lebih jeli, mencari ‘best value’ dalam dirinya yang kelak bisa dijadikannya sandaran hidup untuk bertanggungjawab pada anak dan istrinya di masa depan.
Ketika naik ke kelas dua, wali kelas Roha adalah mantan wali kelas Rhuma di tahun ajaran sebelumnya, Ibu Mas Rifa Aulia . Kami biasa memanggilnya Bu Ipah. Sejak masih menjadi wali kelas Rhuma, hubungan personal dan komunikasi saya dengan beliau sangat baik, walaupun tidak terlalu sering bertemu. Karena itu saya sangat bersyukur saat pembagian kelas dan ternyata Roha juga berada di kelas Bu Ipah. Bagi saya pribadi, Bu Ipah memiliki peranan sangat penting dalam perjalanan saya mencari potensi Roha.
Suatu hari, tanpa sengaja saya bertemu dengan ibu guru bidang studi Bahasa Inggris saat berbelanja. Kami ngobrol santai ngalor ngidul tentang sekolah dan anak-anak, dalam perbincangan itu tiba-tiba bu guru berkata “Kalau Roha kan sebenarnya pintar loh Mam, Bu Ipah tuh yang bilang gitu. Kemarin waktu di ruang guru, guru-guru lain pada ngeluh tentang Roha. Dikasih latihan soal ga pernah selesai, di kelas ga pernah duduk di kursi, lari-larian terus, nilainya juga dibawah standard terus, beda banget lah sama abangnya.. eh Bu Ipah bilang ‘Enggak. Nggak gitu.. Roha itu pintar loh. Wawasannya banyak dia. Dia cuma nggak suka nulis aja. Coba deh tanya dia secara lisan. Ditanya aapaa aja juga dia bisa jawab kok.’ Pas saya coba tanya lisan, bener juga.. ternyata bisa jawab kok si Roha.”
Rasa haru terbit di hati saya mendengar cerita itu. Selama ini saya sudah tahu bahwa Roha tidak bodoh, tapi saat itu saya sudah terlalu sering dan terlalu terbiasa mendengar orang sekitar berkomentar dan memberi label negatif pada Roha. Sehingga rasanya bagai oase dan sangat di luar dugaan saya, ternyata akhirnya ada orang lain yang mengerti dan memahami Roha lebih dari sekedar perilakunya yang tampak di permukaan.
Tak lama sejak pertemuan saya dengan guru Bahasa Inggris itu, saya datang ke sekolah untuk mengambil hasil ulangan-ulangan harian Rhuma dan Roha selama setengah semester. Saat di kelas Roha, Bu Ipah menunjukkan pada saya pencapaian nilai ulangan harian Roha. Dan saya sedikit bingung melihat nilai-nilai yang tertulis. Hanya ada angka 7 dan 8, bahkan 9. Ini ulangan harian loh, bukan UTS atau UAS, jadi kemana perginya nilai-nilai do re mi fa yang biasanya ada?
Saat saya tanyakan ke Bu Ipah untuk meyakinkan bahwa itu benar nilai Roha atau bukan. Bu Ipah meyakinkan bahwa itu memang murni nilai Roha. Tapi saya tidak melihat kertas ulangan harian Roha. Bu Ipah pun menjelaskan: “Nggak ada kertas ulangannya Mama Roha. Roha ulangannya lisan di ruang guru. Jadi waktu teman-temannya mengerjakan ulangan dengan tulisan di kelas, Roha saya suruh keluar kelas. Saya suruh lari-lari atau ngapain aja sesuka dia, kalau sudah capek silahkan tunggu saya di ruang guru. Setelah teman-teman sekelasnya selesai mengerjakan ulangan, saya ke ruang guru untuk kasih Roha ulangan secara lisan. Saya langsung baca soalnya dan Roha langsung jawab. Paling lama 10 menit ulangan lisannya sudah selesai dan nilainya langsung ketahuan hehe. Dia bisa menangkap pelajaran kok ternyata. Tuh nilainya bagus-bagus.”
Speechless. Tercekat. Seolah seketika semesta mendukung saya. Tanpa ada komunikasi atau kesepakatan apa pun di antara kami, ternyata tanpa disadari, saya dan Bu Ipah telah membangun sinergi kerjasama dalam proses belajar Roha. Saat di rumah saya berusaha untuk lebih teliti mencari dan menggali potensi non akademik Roha, rupanya di sekolah pun Bu Ipah mencari dan menggali cara terbaik yang paling efektif agar Roha bisa memperoleh nilai akademik yang layak sesuai kemampuan sebenarnya.
Bagi saya, apa yang Bu Ipah lakukan pada Roha seperti revolusi kegiatan belajar mengajar yang di luar kelaziman ritual kaku KBM di sekolah negeri saat itu. Bu Ipah saat itu bahkan adalah salah satu guru baru yang masih berstatus guru honorer, belum diangkat menjadi PNS. Bu Ipah telah memberikan standar baru dalam proses belajar Roha.
Sayang sekali, hanya satu semester Roha menjadi murid di kelas Bu Ipah. Karena pada semester kedua di kelas 2 SD, kami sekeluarga kembali hijrah ke Jakarta. Rhuma dan Roha pun menjadi murid baru di sekolah dasar negeri terdekat dari rumah. Walaupun hanya enam bulan bersama Bu Ipah, tapi hingga detik ini saya tidak pernah berhenti bersyukur pada Allah, karena telah mempertemukan saya dan Roha dengan beliau.
Tonggak standar yang diberikan Bu Ipah pun selalu saya bawa setiap kali Roha naik kelas dan berganti wali kelas. Kepada semua wali kelas Roha, saya jelaskan bahwa Roha adalah anak spesial dengan ADHD, dan selalu saya ceritakan metode yang dilakukan Bu Ipah. Saya garisbawahi, bahwa saya sekedar bercerita, tapi tidak menuntut para wali kelas Roha yang lain untuk mengikuti apa yang dilakukan Bu Ipah. Dan memang tidak ada guru lain yang melakukan hal yang sama dengan Bu Ipah. Tapi para guru Roha pun cukup memahami saat di tengah jam pelajaran Roha terlihat mulai gelisah dan sulit untuk duduk manis di kelas. Seringkali bapak-ibu guru memberi kesempatan Roha untuk keluar kelas menyalurkan kelebihan energinya dengan berlarian mengelilingi sekolah, terkadang bahkan melongok ke kelas Rhuma hanya untuk menyapa “Bang Umaaa…”
Alhamdulillah walaupun nilainya kembali pas-pasan sekedar cukup, tapi Roha tidak pernah tinggal kelas. Ini pun sudah sangat saya syukuri. Dan saya mulai hafal kalimat pembuka para wali kelas Roha saat saya datang mengambil raport, “Aduh Buuuu, beda bangeeet ya Rhuma dengan Roha…” hahahaha maklum saja, sebelum mengajar Roha, biasanya mereka terlebih dulu menjadi wali kelas Rhuma, seperti Bu Ipah. Jika Rhuma adalah salah satu ‘teacher darling’ di sekolah, maka Roha sering dianggap ‘trouble maker’.
Di kelas 3 SD, Roha pertama kali mengenal pianika karena bu guru mewajibkan setiap murid membawa pianika saat pelajaran kesenian. Tak disangka, ternyata Roha menyukai bereksplorasi dengan pianika. Lagu apa pun yang disukainya, Roha akan dapat mencari dan segera menemukan sendiri notasi lagu tersebut melalui eksplorasi dengan pianika. Sekali waktu, pihak sekolah mengundang biro profesional untuk mengadakan tes IQ di sekolah. Hasilnya cukup mengejutkan, karena ternyata IQ Roha justru lebih tinggi daripada Rhuma. Fakta ini, serta beberapa hal lain dan juga mempertimbangkan daya imajinasinya yang luar biasa, membuat saya akhirnya meyakini bahwa gaya belajar Roha lebih cenderung visual kinestetik.
Saya juga menyadari, gaya belajar visual kinestetik sebenarnya sangat kurang terakomodir dalam konsep kegiatan belajar mengajar di sekolah dasar negeri di pinggiran Jakarta yang minim sarana dan prasarana. Namun karena seiring waktu saya mulai menemukan beberapa potensi non akademik Roha (antara lain minat dan bakatnya terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan komputer dan IT) yang saya yakini dapat menopang hidupnya di masa depan, saya tidak terlalu khawatir lagi apakah Roha dapat menguasai pelajaran akademik di sekolah atau tidak.
Mulai menjadi dilema ketika Roha duduk di kelas 6. Karena Roha memasang target ingin melanjutkan SMP di sekolah yang sama dengan Rhuma (dan notabene salah satu SMP Negeri favorit berstandard nasional). Sedangkan ketika itu Roha sedang sangat menikmati bereksplorasi di bidang IT, sehingga ada kecenderungan menyepelekan nilai dan pelajaran sekolah. Sementara untuk bisa lolos masuk sekolah lanjutan yang diinginkannya, NEM yang lumayan tinggi menjadi satu-satunya syarat.
Dari sekian banyak ‘try out’ ujian nasional yang diadakan di sekolah, nilai nem bayangan Roha selalu di kisaran rata-rata 5 atau 6. Roha pun terbawa arus teman-temannya, minta ikut les pelajaran tambahan. Setelah mendaftar, ternyata toh lebih banyak bolosnya daripada hadir. Ya sudah lah… Akhirnya saat ujian nasional berlangsung, setiap malam saya minta Roha membuat dan menuliskan rangkuman pelajaran yang besok akan diujikan. Harapan saya, sebelum merangkum, mau tak mau dia akan membaca materinya. Dengan menuliskan rangkuman, semoga saja syaraf-syaraf perabanya mengirimkan pesan ke otak tentang apa saja yang ditulisnya (ini sih murni teori ngarang saya aja wkwkwkwk…). Dan saat menulis, otomatis dia akan membaca materi sekali lagi. Dengan begitu semoga saja ada materi pelajaran yang nyangkut nempel di kepalanya hehe.
Saat hasil nem diumumkan, ternyata rata-rata nem SD se-provinsi DKI Jakarta waktu itu mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Kebanyakan teman-teman Roha yang ketika uji coba mendapat nilai dengan rata-rata 7 dan 8, malah turun hanya memperoleh nem dengan rata-rata 5 atau 6. Apa kabar dengan Roha dong???.
Di luar dugaan, rata-rata nem Roha malah mencapai nyaris 8. Salah satu guru bahkan bercerita, saat komputer sekolah mengakses dan mencetak satu per satu nem para siswa, dan hampir semua mendapat nem di bawah prediksi. Ketika tiba giliran nilai nem Roha yang dicetak, semua guru di ruang guru berteriak tak percaya, “Haaaah? Rohaaa??!!! Beneran itu Roha dapat segitu???”
Dan alhamdulillah, Roha berhasil lolos menyusul Rhuma melanjutkan ke sekolah yang diinginkannya.
Di tingkat SMP, sistem KBM yang ‘moving class’ dan gedung sekolah yang empat lantai, cukup efektif menyalurkan kelebihan energinya. Berbagai organisasi siswa dan ekstra kurikuler pun menjadi sarana positif untuk menghabiskan energi. Kendati dalam hal nilai tetap sekedar cukup untuk lulus KKM. Wali kelas Roha berkali-kali menyarankan agar Roha mengikuti les bimbingan belajar. Tapi alih-alih mendaftar bimbel, Roha lebih tertarik untuk bekerja freelance dan belajar tentang komputer di sebuah toko jasa servis komputer milik salah satu teman saya.
Beberapa keluhan wali kelas Roha di SMP antara lain sempat meminta saya untuk bicara pada Roha agar jangan terlalu sering meninggalkan kelas pada saat jam pelajaran, sehingga akibatnya para guru bidang studi mengeluh sebab Roha jadi tertinggal materi pelajaran. Saya sempat terkejut, dan mengira Roha membolos di tengah jam pelajaran. Ternyata yang terjadi adalah, “Bukan mbolos sih bu. Cuma kalau ada guru yang butuh bantuan murid untuk bawa buku, pasang proyektor, minta uang takziah duka cita dan lain-lain, Roha sering maju duluan, atau memang diminta guru tersebut dan Roha selalu menyanggupi. Karena alasannya membantu guru lain, guru yang sedang ada jam di kelas Roha jadi nggak mungkin melarang, pasti memberi izin. Tapi ya itu, jadinya Roha sering keluar kelas.”
Owalaaah jadi begituu.. kepingin nyengir hehe, dalam hati saya malah bersyukur karena energinya tersalurkan di tempat yang tepat.
Dan beberapa tahun yang lalu, saat mengikuti sebuah pelatihan keorangtuaan, di sela ‘break' saya berbincang dengan beberapa orang teman sesama peserta. Mereka berkata bahwa sangat sulit untuk tidak membandingkan pencapaian si kakak dengan si adik. Walau pada level kognisi mereka sangat memahami bahwa tidak bijak membandingkan anak yang satu dengan yang lain, namun dalam tataran praktek sehari-hari sangat sulit dilakukan. “Aku tahu gak boleh bandingin mereka, tapi gimana caranya ya, susah banget. Sebenarnya sering kasian lihat si adik sudah belajar mati-matian tapi ga ngerti-ngerti, nilainya juga segitu aja. Tapi aku juga ada rasa gemes ke adik, kenapa sih gitu aja gampang banget kok ga ngerti-ngerti..”
Aaah this is it. That AHA-moment came to me. Mendengar ‘sharing' rekan-rekan saya, mendadak puluhan bintang seolah berkilauan di mata, kilat dan petir bersahutan di kepala saya. Inilah hikmah terbesarnya. Alasan utama kenapa Allah menghadiahkan anak spesial seperti Roha untuk saya. Agar saya tidak berlarut terjebak dalam kognisi membandingkan terlalu lama. Setelah melalui proses bertahun-tahun dan akhirnya menemukan beberapa ‘best value’ Roha, selanjutnya jadi jauuuuuh lebih mudah bagi saya untuk dapat melihat ‘best value’ anak-anak saya yang lain (terutama potensi non akademik mereka). Perjalanan dan perjuangan memahami Roha tanpa saya sadari turut melatih kepekaan panca indera dan mata hati saya.
Maka nikmat Allah yang mana yang dapat saya dustakan?!
#sahabatkeluarga
0 komentar