Minggu, 15 April 2018

GADGET DAN NORMA PERGAULAN



Jadi ceritanya saya termasuk org yang sudah terlanjur kasih gadget ke anak di saat anak-anak saya masuk kelas 1 SMP...jadi sementara ini yang sudah pegang hp baru anak pertama dan kedua saja.

Untuk Rhuma (si sulung) punya gadget tidak terlalu banyak pengaruh nya... Rhuma yang berkarakter judging, dengan tertib membatasi diri sendiri untuk maksimal pegang ponsel adalah 3 jam/ hari dan tetap lebih banyak tertarik pada aktivitas dunia nyata dari pada ponsel.. Kadang membuat emaknya sebal juga sih, karena sering pesan emak tak dibaca, panggilan telepon emak tak diangkat.

Nah untuk Roha, punya ponsel jadi means a lot.. sempat rada freak sama hp.. karena Roha tipe yang aktif bersosialisasi dan berorganisasi..
jadi pengurus osis
pengurus rohis
pramuka dll

Dan semua rapat organisasi era kini tuh ternyata bukan seperti jaman kita dulu (kiitaaa??? mahluk imut abege medio 90an maksud saiah).. yang rapatnya berlangsung di ruang osis atawa sekretariat ekskul.
Rapat osis n ekskul masa kini semua/ mayoritas di lakukan via grup bbm/wa/line

Jadi ketika tidak cek hp, maka sangat signifikan tertinggal banyak info..
dan saat ada siswa yabg tidak punya fasilitas hp bertanya secara langsung info di grup yang terlewat, para anggota osis yang lain biasanya malas mengulang menjelaskan secara langsung..

Efek rapat grup di hp yang seringkali berlangsung hingga larut malam itu makin hari makin terlihat di Roha... kurang tidur, jadi kurang istirahat, mata jadi minus...

Saya akhirnya cuma berdoa supaya kalau hp nya tidak barokah n lebih banyak mudhorot, semoga Allah saja yang mengambil. Ndilalah itu hp Rhuma, sekali beli sampai sekarang masih awet.. sejak dia kelas 1 SMP (hingga sekarang kelas 1 SMK).

Sementara hp milik Roha beberapa kali rusak tidak bisa diperbaiki... beberapa kali pula ada saja yang belikan hp baru 😪

Yang terakhir hp nya rusak total lagi sekitar 5-6 bulan yang lalu... dan sampai sekarang tidak ada yang belikan lagi wkwkwk alhamdulillah
Sekitar 2 bulan lalu, Roha mulai protes... merasakan imbas kerugian karena tak punya hp
Roha berkisah.. saat akan pinjam buku ke rumah teman, Roha berkunjung ke rumah teman tsb sore hari ba'da ashar, temannya sedang tidur dan dibangunkan ibunya karena  Roha datang..
saat menemui Roha komennya:" lu ngapain sih dateng kesini sekarang. Ganggu gue tidur aja"

Beberapa kali terjadi hal serupa.. padahal Roha berkunjung di jam yang pantas untuk bertamu...

Saya yang mendengar seluruh ceritanya, kemudian berkomentar menceritakan pengalaman dan adab bertamu era saat saya se usia Roha dulu (medio 90an lah)

Masa dimana kalau kita butuh tanya info PR dan tugas tuh, kita naik sepeda datang langsung ke rumah teman..
Berkunjung di jam yang pantas untuk bertamu..
Pagi hari yang pantas bertamu tuh sekitar jam 8-12 ..
Jam 12-adzan ashar itu kurang pantas karena waktunya istirahat siang..
Setelah ashar hingga adzan magrib boleh lagi bertamu..
Setelah adzan magrib sebaiknya tidak bertamu lagi kecuali urgent dan betul-betul terpaksa, itu pun paling malam berkunjung idealnya jam 8 malam

Nah sepanjang saya bercerita, Roha beberapa kali protes nada suara saya terlalu tinggi (menurutnya…).
Setiap kali dia protes, saya turunkan nada suara.
Lalu protes lagi, saya turunkan lagi
Masih protes juga, saya turunkan lagi nada dan intonasi suara, seiring dengan kesabaran saya yang juga makin menipis hehe..

Setelah sekian kali Roha protes nada suara saya...
Rhuma yang sejak awal mendengarkan dari kamar akhirnya minta izin untuk boleh ikut berpendapat

Dan begini kata Rhuma:

“Ini kayaknya efek karena lebih sering komunikasi via gadget daripada bicara langsung ketemuan dek..
kamu jadi nggak bisa bedain macam-macam variasi intonasi dan nada suara orang..”

“Karena di hp semua serba tertulis... gak ada emosi nyata.. gak lihat bahasa tubuh.. gak dengar intonasi dan nada suara..”

“Umi dari tadi nada nya biasa aja kok.. gak pernah tinggi atau seperti orang marah..
kamu dengar nada umi seperti itu sudah baper ngerasa dimarahi,tersinggung..
gimana kalo kamu denger supir kenek angkot pada ngomong???..”

“trus tuh kamu bertamu di waktu yang pantas, tapi dianggap ganggu tidur teman mu...
Itu efek gadget juga..
Ngobrol di gadget itu sering ga tahu batasan waktu..
Karena gak seperti orang bertamu yang ada waktu-waktu pantasnya..
Ngobrol di grup bisa 24 jam tanpa jeda..
Gak ada malam gak ada siang.
Teman-temanmu jadi gak ngerti waktu yang sopan untuk bertamu jam berapa aja...
Sore hari waktu untuk sosialisasi akhirnya kebalik dipakai tidur... malam hari waktunya tidur masih asyik chat..”

“Abang juga admin grup kelas.. tapi abang bikin aturan tegas.. maksimal chat jam 10 malam..
 Di atas itu non aktif..
Karena badan kita butuh istirahat...
Pegang hp malam hari itu kayaknya aja badan kita diem di tempat tidur..
tapi otak kita gaK istirahat.. mata gak istirahat..
Kalau otak terus kerja ya seluruh badan juga sama aja bekerja..”

“Makanya kamu banyakin dek ketemu, ngobrol sama orang di dunia nyata..”

Yah begitulah...😪
Dari pembicaraan sersan empat mata dengan Roha kali ini, saya jadi mendapat gambaran adanya:
1. Norma pergaulan yang bergeser,
2. Etika bertamu yang mulai menjadi cerita sejarah peradaban suatu kaum.

Saya jadi lebih memahami “beratnya" menjadi berbeda (tak memakai hp) dalam lingkup pertemanan masyarakat digital. Being different is possible, but they need solid strong support system behind them.

Sejak tidak ber-hp, perlahan Roha makin kembali ke dirinya sendiri. Yang aslinya berlebih energi dan butuh banyak aktivitas fisik untuk menyalurkannya, selama beberapa tahun ini sering berdiam diri tersihir hp,kini kembali “geratakan” gak bisa diam. Pangkas pohon lah, beberes lah, atau bersemangat dan tak sabar menanti jadwal latihan pramuka.

Sedangkan dari Rhuma…. hmmm.. again and again.. analisa saya sekali lagi kalah holistik dibandingkan analisa Rhuma hehe..
Jujur kacang ijo, sejujurnya semua yang dijabarkan Rhuma tak terpikirkan oleh saya sebelumnya.
1. Generasi gadget yang terlupa pada dimensi waktu,
2. Memiliki ‘vocab' perbendaharaan nada intonasi bicara yang sangat minim,
3. Tidak mampu meraba sisi emosi lawan bicara,
4. Kurang terlatih memahami mimik wajah dan bahasa tubuh, serta
5. Orangtua era gadget yang mungkin terlupa mewariskan etika bertamu pada generasi berikutnya…

Semua itu nyaris luput terlewat dari pengamatan emak fakir ilmu ini. Well, siang itu saya belajar dan mendapat sangaaaat banyak dari anak-anak. Hanya bisa bengong melongo mendengarkan penjabaran Rhuma (beneran anak gue nih yang ngomong???).
#tepokjidat #emakkudet #emakiritilmu

Bagi para orangtua yang tidak ingin tertinggal dan tergerus kemajuan jaman dalam mendampingi putra-putrinya di era digital ini, bisa meluncur ke tautan Mendampingi Remaja Milenial untuk mengetahui aneka tips cerdas menjadi orangtua kekinian.

#sahabatkeluarga
Load disqus comments

0 komentar

Designed By Risa Hananti. Diberdayakan oleh Blogger.