Minggu, 15 April 2018

INDAH PADA WAKTUNYA

Banyak rekan bertanya, bagaimana tips nya supaya anak-anak bisa dan mau mencuci sendiri baju mereka. Yah… kalau menurut saya sih, mencuci dan menyetrika baju adalah pekerjaan rumah tangga yang seringkali terasa cukup berat, bagi orang dewasa sekalipun. Jadi saya mengenalkan prosedur cuci baju setelah terlebih dulu membiasakan anak-anak saya melakukan pekerjaan rumah tangga lain yang lebih ringan.

Berawal dari wejangan super mama mertua paling baik sedunia. Belasan tahun yang lampau Mama berpesan bahwa sebaiknya sejak anak-anak masuk sekolah TK sudah dibiasakan cuci piring sendiri, agar nantinya lebih mudah mengarahkan anak-anak melakukan keterampilan rumah tangga yang lain. Dan kini saya sangat bersyukur karena menuruti nasehat ini.

Untuk tahapan mengajarkan mencuci baju, saya awali sejak anak-anak kelas 1 SD. Saya mulai memberitahu bagaimana cara membersihkan noda di baju. Dan berlanjut dengan sebuah kesepakatan bersama. Jika baju mereka terkena noda (noda coklat, noda saus, noda makanan, noda tanah merah dll), maka anak-anak akan membersihkan noda itu terlebih dulu sebelum memasukkan pakaian tersebut ke keranjang baju kotor.



Pernah ada komentar, “Anak kelas 1 SD disuruh bersihin dan sikat sendiri noda di baju? Yaelah, emangnya bisa bersih?”
Waaaikiii… pertanyaan seperti ini sih enaknya tak tanya balik aja ya: Mbakyuu… njenengan ngimpi?
Jadi, skenario begini loh mbakyu… seorang anak kelas 1 SD, usianya belum genap 7 tahun, cah lanang pula, main bola di lapangan, kemudian seragam putihnya kotor dengan noda tanah merah, sampai di rumah dia sikat dan kucek sendiri noda tanah merah di seragam putihnya. Bisa bersih???.. Ya ngimpiiii !

Sudah pasti ndak bersih. Sudah pasti emaknya mesti mengulangi prosesi sikat noda. Saat jam terbang menyikat bajunya masih 0, level nodanya berkurang mungkin 10-15% deh.. lumayan.. sesuai lah dengan pemakaian setengah kilogram deterjen untuk membersihkan sepotong celana seragam putih.
Dan hasil itu sangat sepadan dengan lelahnya tangan mereka menyikat dan mengucek.
Sepadan dengan pengalaman batin yang mereka rasakan, bahwa membersihkan noda tanah merah itu bukan pekerjaan mudah.
Sepadan dengan pengetahuan baru yang mereka dapat bahwa noda coklat itu jahat sekali.
Sepadan dengan fakta yang mereka buktikan sendiri, bahwa iklan-iklan deterjen di TV lebih banyak menawarkan janji surga (saaaaah).
Sehingga, selanjutnya mereka lebih berhati-hati dan peduli menjaga kebersihan pakaian sendiri.

Beri sedikit umpan dan banyak kesempatan bereksplorasi tanpa menilai hasil ternyata jadi memicu rasa ingin tahu mereka. Setelah fasih mengucek bagian kecil kain yang bernoda, biasanya anak-anak saya jadi penasaran dan bertanya, bagaimana sih cara mencuci baju yang sebenarnya hingga mendarat di jemuran. Dan saya,, oooh tentu saja akan menurunkan ilmu wasiat itu dengan senang hati (hahahaha.. ketawa licik..). Sering ikut sanlat saat liburan sekolah juga semakin mengasah kemampuan cuci baju mereka. Sebab saat sanlat mau tak mau mereka harus mencuci baju sendiri secara manual.

Pertanyaan selanjutnya adalah: kapan dan usia berapa idealnya anak-anak diwajibkan untuk mencuci baju sendiri?
Terus terang saya tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut secara ilmiah. Karena kondisi, karakter dan proses pada masing-masing anak bisa berbeda. Di rumah kami, mencuci baju menjadi kewajiban yang diputuskan bersama berawal dari usulan mereka sendiri, lalu disepakati bersama dan disahkan melalui forum musyawarah rutin keluarga. Dan mereka mengusulkan itu karena mereka merasa sudah siap, mampu dan ingin melaksanakannya. Minggu lalu pun tanpa saya duga, Rihal (7th) yang memutuskan dan meminta untuk diizinkan mencuci baju-bajunya sendiri.

Setelah mereka merasa sanggup dan ingin, lalu memutuskan untuk menjadikan acara cuci baju sebagai tanggung jawab pribadi… tantangan berikutnya adalah konsistensi. Emangnya bisa anak-anak itu konsisten melaksanakan niat mulianya? Duh mbak sis, jangankan anak kecil.. yang ibu rumah tangga dewasa pun, sudah paham bahwa memastikan ada hidangan di meja makan adalah bagian dari tanggungjawab sebagai ay ar ti, tapi ya  masih sering on off kok konsistensinya untuk memasak.

Butuh support serta tarik ulur tega dan tega(s) untuk membantu mereka konsisten pada apa yang mereka putuskan. Juga kesabaran untuk menonton mereka melalui proses. Ai(11th) pernah beberapa kali terpaksa merelakan pakaiannya terbuang dan berkurang, karena menunda menjemur, sehingga pakaian yang lembab jadi berjamur. Emaknya juga kadang tutup mata biar gak gatel lihat cucian numpuk. Roha (15th) pernah sampai kehabisan baju bersih tanpa ada yang tersisa satu pun di lemari karena lalai mencuci. Saling bentrok dan tumpang tindih atau sabotase waktu mencuci karena ada pihak yang mangkir dari jadwal cuci masing-masing sesuai kesepakatan pun beberapa kali terjadi. Sampai akhirnya mereka bisa mulai konsisten mencuci sesuai jadwal kesepakatan.

Lalu pertanyaan kuncinya adalah: Bagaimana sih kualitas hasil cucian anak kecil? Bisa bersih? Hehe kalau definisi bersih menurut standard ibu profesional siiih… ya silahkan dibayangkan sendiri deh. Tapi ternyata setiap anak punya standard kerja sendiri sesuai dengan karakter masing-masing. Misalnya Rhuma (16th) yang memang cenderung judging dan perfeksionis, sejak awal kualitas hasil cuciannya tak perlu lagi dikoreksi. Seringkali dia sendiri yang kurang puas dengan hasil cuciannya dan mengulangi mencuci.
Roha? bisa konsisten pada jadwal cuci awalnya sudah menjadi prestasi. Cemerlang atau butek, tak masalah yang penting itu baju sudah merasakan kecelup air sabun dan gilingan mesin cuci. Padahal yaa diantara semua saudaranya, Roha loh yang pertama mengerti dan bisa mencuci baju. Dan karena gengsi ‘terkalahkan' oleh si adik, barulah si abang Rhuma penasaran belajar mencuci juga.

Sampai kemudian datanglah masa berbunga itu…
‘biasanya tak pakai minyak wangi… biasanya tak suka begituuu… emak waspada.. emak curigaaa…’ (minyak wangi by ayu tingting)
Saat Roha mulai puber, tertarik pada lawan jenis, mulai memperhatikan penampilan.. termasuk kebersihan dan kecemerlangan pakaian. Dan perlahan, meningkat pula kualitas hasil cuci bajunya.

Azza (10 th) mulai mencuci sendiri ketika usia 8,5th kelas 2 SD. Awalnya, euforia bisa mencuci sendiri menjadi salah satu kebanggaan dan menaikkan level PD-nya. Lebih dari setahun berselang, kebanggaannya mulai luruh. Karena mengamati dan memperhatikan bahwa baju dan seragam putihnya ternyata tak sekinclong teman-temannya. Sempat ‘down'? Pasti. Tapi hal itu ternyata justru menguji resiliensinya. Membangkitkan rasa penasaran, bagaimana caranya supaya baju putihnya pun bisa kinclong menyilaukan. Beberapa waktu browsing dan bertanya sana sini, mencoba berbagai cara yang efektif untuk mencuci pakaian putih. Hingga suatu hari sepulang sekolah, Azza bisa berkata “Miy, tadi Azza perhatiin di kelas kayaknya roknya Azza deh yang paling putih. Ada sih roknya si Q juga putih bangeeet. Tapi itu dia rok baru beli, baru dipakai.”
Ai… hmmm sampai sekarang sepertinya belum mendapat wahyu hidayah untuk memperbaiki kualitas cucian ke level terbaiknya.. Jadi saya pun masih menunggu Ai berproses hehe.

Kira-kira begitulah.. masing-masing anak berproses sesuai karakter dan kenyamanan mereka. Perlahan mereka menciptakan standard dan memutuskan sendiri kapan akan meng-upgrade-nya. Lalu haruskah saya buru-buru memaksakan standard ‘output' sesuai keinginan saya? Hey.. dari segi usia, level mereka jauuuuh di bawah saya, dan berusaha sekuat apapun mereka tidak akan pernah mencapai level usia yang setara dengan saya. Lalu kenapa saya harus memburu mereka untuk sesegera mungkin mengikuti standard kerja saya? They enjoy the process. So why dont we, adult, join them enjoy the process too?

Bukankah dalam sebuah perlombaan lari pun, seluruh peserta akan mulai berlari di waktu yang sama, walau tiap peserta akan mencapai ‘finish' di waktu yang berbeda satu sama lain? Jadi kenapa harus membandingkan pencapaian si kakak dengan si adik?

Anggaplah saya sebagai panitia penyelenggara lomba lari tersebut. Saya berikan dukungan total, menyiapkan dan memfasilitasi semua yang dibutuhkan para peserta agar bisa menyelesaikan perlombaan dengan baik. Saat mereka dehidrasi kehausan, saya sediakan minum. Jika mereka cedera, saya siapkan pertolongan pertama. Ketika keringat mengganggu mereka, saya akan sodorkan handuk. Yang tidak akan saya lakukan adalah, memberi mereka tumpangan mobil/motor agar mereka bisa sampai finish secepat yang saya mau. Itulah yang saya rasakan saat ini.

Saya sedang “menonton" semua anak saya melakukan usaha dan berjuang untuk mencapai finish pada “waktu terbaik” mereka masing-masing. Tidak ada menang atau kalah, karena mereka berjuang untuk mengalahkan diri sendiri, berusaha menjadi lebih baik dan lebih maju di setiap langkah. Betul.. saya menyaksikan dengan rasa was-was, kuatir, cemas, terkadang juga sedikit meragukan dan meremehkan kemampuan mereka, bahkan sesekali timbul rasa kecewa . Tapi saya juga bersyukur, karena tak semua orang memiliki keberanian dan kemampuan untuk maju sekedar berdiri di garis START sekalipun.

*Tambahan referensi untuk Mengajarkan kemandirian bagi anak berkebutuhan khusus.

#sahabatkeluarga

Load disqus comments

0 komentar

Designed By Risa Hananti. Diberdayakan oleh Blogger.