Kamis, 02 Mei 2019

"ISI" SELALU LEBIH PENTING DARIPADA WADAH / #AyoHijrah bersama Bank Muamalat Indonesia


Membahas tentang makna hijrah dalam hidup saya, bisa jadi tak akan berujung pangkal. Namun dapat dikatakan, salah satu momen hijrah terpenting bagi saya adalah hijrah sebagai seorang ibu yang profesional.

Sedikit mengulas ke belakang, sejak kecil saya tak pernah bermimpi menjadi seorang ibu rumah tangga murni tanpa aktivitas profesi di luar rumah. Kendati sosok ibu kandung saya adalah super IRT yang selalu ada di rumah, tak serta merta membuat diri ini berangan untuk meneladani beliau.


Perbedaan karakter dasar kami mungkin menjadi salah satu penyebab. Ibunda saya tercinta adalah seorang introvert yang cenderung gemar berdiam di rumah, tak terlalu banyak bertemu orang baru meskipun cukup aktif di lingkungan RT perumahan kami.


Saat kelima anaknya beranjak remaja, barulah ibu aktif berkegiatan sebagai seorang profesional di ranah publik. Dan di usia kepala enam saat ini justru kesibukannya di luar rumah makin bertambah.


Sementara saya adalah ekstrovert dan petualang yang menyukai banyak kegiatan juga perjumpaan dengan orang baru. Sejak kecil saya selalu lebih menikmati berkunjung ke rumah teman, meskipun sering pula kawan yang datang menyambangi rumah kami. Siapa pun yang mengenal saya sejak kecil, kebanyakan memprediksi bahwa kelak saya akan menjadi wanita dewasa dengan karier cemerlang. 



sumber: www.google.com

Faktanya, takdir berkata jalan hidup saya menikah di usia remaja, 18 tahun selepas masa putih abu-abu berakhir. Dan menjadi seorang ibu di usia 19 tahun. Berlanjut dengan melahirkan anak kedua sebelas bulan setelah kelahiran anak pertama. 


Melanjutkan kuliah sembari membawa dua bayi di tanah rantau demi memenuhi janji menyelesaikan studi sarjana, saya menetap di Jatinangor bersama dua anak, sementara suami dan seluruh keluarga besar berdomisili di Jakarta. Setelah tamat kuliah dan kembali ke Jakarta, kembali hamil anak ketiga. Sebagai penutup, saya melahirkan anak kelima di usia 27 tahun.


Melahirkan lima anak dalam kurun waktu 8 tahun dengan jarak usia berdekatan,  membuat saya harus menunda sejenak keinginan untuk meraih cita-cita masa kecil menjadi seorang guru. Demi Tuhan saya ikhlas. Rela mengasuh sendiri kelima anak tanpa bantuan asisten atau pun pengasuh anak.

 
dokumentasi pribadi


Ibunda tercinta menjadi role model  ideal bagi saya saat itu. Bagaimana ibu mengasuh sendiri saya dan keempat adik sejak kami lahir hingga remaja. Dan takdir hidup kemudian memberi ibu kesempatan memulai karier di  usia kepala 4, dan bahkan sudah bercucu. Semakin senja usia, beliau semakin aktif dalam karier profesional.

Hingga saya pun memiliki keyakinan, suatu hari entah kapan, akan tiba giliran saya mengabdi sebagai seorang guru di ranah publik. Tak hanya menjadi guru bagi anak-anak sendiri di rumah. Ya... Impian itu tak pernah saya lepaskan. 
"Semua akan indah pada waktunya." batin saya saat itu.

Hingga suatu hari, beberapa orang teman berkunjung ke rumah kami. Salah seorang kemudian meminta izin untuk menggunakan kamar mandi yang terletak di bagian belakang rumah. Untuk menuju kamar mandi, maka otomatis akan melihat nyaris seluruh bagian rumah kami (kecuali kamar tidur). Saat itu dia berkomentar, "Wah.. Jadi ini ya Pur, ruang kerja lu.. Keren juga."

Dan saat itulah berjuta bintang seolah berkilauan di mata. Gelegar halilintar seakan bergaung di kepala. Hingga malam menjelang pagi kalimat sederhana tersebut terus berkumandang di telinga. Jadi seperti inikah rasanya mendapat hidayah?

Semalam suntuk saya mengamati seluruh bagian rumah mungil kami. Selama ini saya terus memupuk asa dan angan agar suatu saat nanti Allah mengabulkan keinginan berkiprah dalam karier. Tanpa menyadari, bahwa Allah telah memberi karier terbaik untuk diri ini.



Benar juga.
Saya memiliki kantor dan ruang kerja yang sangat lengkap fasilitasnya.
Ada sofa. Ada televisi. Dilengkapi banyak spring bed. Tersedia kulkas yang selalu terisi penuh beragam makanan. 
Ada meja makan. Bahkan pantry, juga mesin cuci dan pompa air. Tak lupa taman minimalis yang cukup hijau.
Bahkan ruang kerja direktur dan komisaris perusahaan besar pun, saya yakin, tak mungkin memiliki fasilitas sekomplit ini.

Inilah ruang kerja saya.
Inilah kantor saya.
Dan inilah karier saya.
Ibu rumah tangga.
Dengan berbagai tantangan pekerjaan yang menantang, menggugah jiwa petualang saya.
Allah mungkin belum mengabulkan karier idaman saya sejak kecil.
Tetapi Allah menggantikannya dengan karier lain yang lebih baik untuk saya dan keluarga.

Sejak hari itu, sudut pandang saya berubah drastis. Keikhlasan dan pengorbanan selama ini saya lakukan dengan penuh kesadaran tanpa penyesalan. Namun bagaimana pun, pengorbanan dalam bentuk apa pun selalu beriringan dengan  kata 'beban'.

Semenjak itu,
Keikhlasan saya bertambah maknanya dengan rasa ketertarikan.
Pengorbanan berubah menjadi keingintahuan dan penasaran.
Dan 'kenakalan' anak-anak kini tampak sebagai eksplorasi dan kreativitas.
Jika sebelumnya saya mengelus dada untuk menyuplai stok kesabaran di jiwa saat menghadapi polah anak-anak yang belum sesuai harapan, maka sekarang mata saya berbinar melebar. Penasaran dan menanti, tingkah apa lagi yang akan mereka lakukan. Cara dan metode apa lagi yang bisa saya terapkan.

Ibaratnya, selama ini saya mengangkat beban 5 kg di tangan kiri, padahal saya tidak kidal dan kekuatan utama saya ada di tangan kanan. 
Sejak hari itu, beban tersebut saya pindahkan ke tangan kanan. Berat bebannya tetap sama, tak berubah. Namun langkah saya menjinjing beban tersebut terasa jauuuuuh lebih ringan.

Hidayah memang terkadang datang dari arah yang tak terduga.  Momen hidayah yang membawa saya pada hijrah mindset   ternyata bukan datang dari tausyiah ustadz atau ustadzah.
Tak pernah saya sangka, bahwa ucapan sederhana yang dilontarkan sambil lalu oleh seorang teman (yang saat itu bahkan statusnya belum menikah) ternyata mampu memberi dampak sedahsyat itu dalam hidup saya.
Benar adanya, dengar apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan.

Momen #AyoHijrah tersebut, membuat saya menjadi sangat sangat sangat menikmati profesi saya sebagai ibu rumah tangga profesional. Sampai kini pun saya masih terus, terus dan terus berproses berupaya untuk hijrah menjadi ibu yang lebih baik dan lebih baik dari hari ke hari. Hingga akhirnya keinginan menjadi guru benar-benar terlupakan.


sumber: www.google.com

Tak lama setelah itu, tuntutan pekerjaan suami membawa kami harus hijrah dari Jakarta ke Bandar Lampung. Tahun 2006, sesaat sebelum pindah ke Bumi Ruwai Jurai, saya mendapat info tentang produk tabungan terbaru dari Bank Muamalat Indonesia, yaitu Tabungan Shar-E. Produk kerjasama antara Bank Muamalat dengan Kantor Pos ini ibarat oase penyelamat bagi saya.

Tentu saja saya tahu bahwa Bank Muamalat yang diusung oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), sebagai bank syariah pertama di Indonesia, telah berdiri sejak 1991. Karena saya, saat itu kelas 6 SD, mendengarkan berita peresmiannya lewat siaran radio dalam perjalanan bermobil bersama Bapak. Namun sebelum produk tabungan Shar-E diluncurkan, saya kesulitan menggapai cabang Bank Muamalat terdekat dari rumah, yang secara jarak masih terbilang jauh.

Walhasil, ketika pertama kali memiliki rekening di usia 15 tahun, saya membuka rekening di bank konvensional terdekat dari rumah. Bapak dan ibu setiap bulan memantau dan mengingatkan perihal bunga bank yang harus 'dibuang'. Sejak sebelum ada bank syariah, kedua orangtua saya sangat berhati-hati dan anti makan uang riba. Setiap bulan Bapak selalu mencatat dengan jeli saldo tabungan yang dititipkan di bank. Tak lupa meminta rincian jumlah bunga yang diterima setiap bulan kepada petugas bank. Bunga bank ini disebut Bapak dengan istilah uang merah. 

Setiap bulan, Bapak dan Ibu akan memisahkan uang merah ini, dan membuangnya begitu saja di pinggir jalan. Entah diberikan ke pemulung, atau pengemis. Sesekali juga dilemparkan begitu saja ke tempat sampah di pinggir jalan. Saking takutnya mereka memakan riba tak halal. Perilaku ini pula yang mereka ajarkan kepada kami, anak-anaknya. Hingga semangat #AyoHijrah anti riba telah mengakar dalam diri kami sejak kecil.


Seperti inilah rekening instan Shar-E Muamalat yang pertama kali saya miliki.
sumber: www.google.com


Karena itu, ketika produk Tabungan Shar-E diluncurkan, dan memungkinkan saya untuk membuka dan melakukan penyetoran rekening Bank Muamalat Indonesia di Kantor Pos terdekat, kegembiraan yang saya rasakan tak terkira. Saya pun langsung membuka dua rekening. Untuk rekening operasional dan rekening dana cadangan. 

Dengan membuka rekening syariah, hidup saya menjadi lebih tenang. Saya tak perlu lagi menghitung bunga riba yang tercampur dalam saldo tabungan saya. Tak lagi repot memisahkan dan membuang uang merah setiap bulan. 

Saat itu seolah semesta mendukung. Hijrah saya sebagai seorang ibu profesional terasa makin kaffah makin total dan lengkap dengan beralihnya saldo rekening dari bank konvensional ke bank syariah.

Kemudian, selama empat tahun saya dan lima anak merantau di Bandar Lampung, tabungan Shar-E sangat memberi kemudahan bagi berbagai transaksi keuangan. Karena saat itu, saya dan anak-anak kembali terpisah jarak dengan suami dan keluarga besar. Kami berdomisili di Bandar Lampung, dan suami bekerja di salah satu perkebunan di Jambi, sementara keluarga besar di Jakarta.

Berada di pedalaman perkebunan Jambi, membuat akses perbankan sangat minim. Suami saya sangat terbantu karena rekening Shar-E memungkinkan beliau melakukan setoran nafkah lahir ke rekening saya lewat Kantor Pos. Dan salah satu fasilitas Shar-E yang paling saya suka saat itu adalah, kemudahan untuk melakukan tarik tunai lewat beberapa mesin atm bank konvensional lain tanpa adanya potongan biaya, plus bebas biaya administrasi bulanan.
Maklum saja, Bandar Lampung saat itu bukan layaknya kota besar di Pulau Jawa, Western Union dan jaringan atm prima/bersama masih belum umum dijumpai.

Karena itu, bagi saya saat itu inovasi yang ditawarkan Bank Muamalat melalui produk tabungan Shar-E sangat luar biasa. Sebab medio itu, sms/internet banking belum tercipta, sehingga kemudaham untuk melakukan transaksi di Kantor Pos dan bisa tarik tunai di banyak atm adalah solusi penting bagi hidup saya.

Singkat cerita, setelah empat tahun merantau, kami kembali ke Jakarta. Saya sempat tak berurusan lagi dengan bank apapun, karena jatah bulanan dari pak suami selalu saya terima dalam bentuk tunai hehe.

Lalu roda takdir saya kembali berputar. Di masa saya sedang sangat menikmati berprofesi sebagai ibu bagi anak-anak saya, ketika saya sudah terlupa pada cita-cita menjadi guru. Manakala dimana ijazah tersimpan pun tak lagi saya pedulikan, tak diduga Allah mentakdirkan saya menjadi seorang guru SMP, setelah belasan tahun merasa cukup dengan menjadi guru bagi anak sendiri saja.

Beruntungnya, sekolah tempat saya mengajar memiliki porsi agama Islam yang cukup banyak dalam kurikulumnya. Dengan latar belakang tersebut, yayasan sekolah bekerja sama dengan Bank Muamalat Indonesia untuk distribusi gaji karyawan dan guru. Sehingga sekali lagi saya memiliki rekening anti riba di Bank Muamalat Indonesia. Kali ini saya langsung mengunduh dan mengaktifkan aplikasi mobile banking.

Sebagai seorang guru di sebuah SMP berbasis agama yang padat kegiatan, tuntutan pekerjaan membuat saya harus menginap di luar kota setidaknya sebulan sekali. Jangan bayangkan saya dan murid-murid menginap ala liburan di tempat wisata hits.

Kebanyakan kami menginap di gunung atau tepi hutan untuk berkemah. Atau menginap di pedesaan dengan warga desa yang mayoritas ekonomi menengah ke bawah. Dan dalam kondisi demikian, aplikasi mobile banking Bank Muamalat sangat sering saya manfaatkan.


Fitur Kompas dalam aplikasi mobile banking Muamalat

Bukan hanya untuk melakukan transaksi finansial jarak jauh, pemanfaat utama justru untuk melakukan ibadah wajib sebagai seorang muslimah. SHOLAT.
Saat berada di tempat asing, seringkali arah kiblat menjadi kendala saat akan menunaikan ibadah wajib. Dan fitur dalam aplikasi mobile banking Bank Muamalat sangat membantu, karena menyediakan kompas penunjuk arah kiblat yang tepat. Saya juga dapat memantau waktu sholat melalui aplikasi tersebut. 




Bank Muamalat Indonesia sebagai pionir inovasi produk perbankan syariah di Indonesia serta menjadi  tonggak sejarah penting di industri perbankan syariah, memang tak pernah tanggung untuk mewujudkan nafas #AyoHijrah menuju hidup tanpa riba ya...

Sebagai bank syariah pertama di Indonesia yang sama sekali tidak memiliki afiliasi manajemen dengan bank konvensional mana pun, Bank Muamalat tak sekedar pepesan kosong penyebar jargon hijrah. Tapi juga dengan strategi bisnis yang terarah Bank Muamalat Indonesia terus melaju mewujudkan visi menjadi “The Best Islamic Bank and Top 10 Bank in Indonesia with Strong Regional Presence”. Antara lain dengan menyediakan inovasi dan fasilitas perbankan dan pembiayaan yang  mendukung bagi gaya hidup #AyoHijrah tinggalkan riba.

Saya adalah salah satu orang yang sudah merasakan hikmah #AyoHijrah Berani Lebih Baik. Hidup setelah hijrah menjadi ibu yang lebih baik dan tanpa riba, membuat batin lebih tenang. Hati terasa kaya, tak pernah kekurangan kendati lembaran nominal di dompet belum sempat tertumpuk banyak hehe.. 
Efek lanjutan dari ketenangan batin?
Hmmm.... Tubuh pun lebih bugar jauh dari penyakit,  serta wajah terlihat awet muda #eaaaa..
Saya bahkan sering dikira sebagai pasangan suami istri, saat berjalan berdua dengan anak pertama atau kedua hahaha...

 #AyoHijrah
#BankMuamalat
#MiladBankMuamalat
Load disqus comments

0 komentar

Designed By Risa Hananti. Diberdayakan oleh Blogger.