Senin, 09 September 2019

KORAN DAN DEGRADASI BAHASA ( ATAU MORAL?)

Belum lama ini saya menulis tentang koran dan budaya literasi keluarga. Barangkali masih ada yang ingat... Atau bagi yang belum membacanya, silahkan meluncur ke Koran dan Budaya Literasi Keluarga.

Sumber: www.google.com

Dalam artikel tersebut saya  mengulas beberapa alasan, mengapa koran tetap penting hadir dalam ruang baca keluarga sebagai salah satu materi penunjang budaya literasi keluarga.

Dan kemudian, saya menemukan kembali, alasan yang mendukung untuk menggalakkan serta melestarikan kembali budaya membaca koran atau majalah di tengah keluarga.

Sebagai seorang guru BK (Bimbingan Konseling), saya kerap menghadapi dan menangani berbagai hal yang menimbulkan ketidaknyamanan akibat gesekan pergaulan para siswa di sekolah.
Dan selama beberapa tahun terakhir ini, permasalahan sosial antar siswa umumnya bermula dari gawai dan media sosial. 


Sumber: www.google.com
Termasuk yang baru-baru ini terjadi di sekolah menengah pertama (SMP) tempat saya mengajar. Perkara yang terlihat sepele namun ternyata berbuntut panjang hingga melibatkan puluhan siswa, guru, wali kelas hingga orangtua murid.

Berawal dari dua orang sahabat sekaligus teman sebangku yang saling memberi julukan atau panggilan sayang di antara mereka. Sebut saja mereka Mawar dan Anggrek.

Anggrek menciptakan panggilan sayang untuk Mawar dengan sebutan Mago (Mawar Bego). Demikian pula sebaliknya, Mawar pun menyebut Anggrek dengan panggilan Anggo (Anggrek Bego).

Panggilan sayang ini mereka gunakan satu sama lain, tanpa ada di antara mereka berdua yang merasa terganggu. Tidak juga merasa direndahkan, tidak merasa dilecehkan, pun tidak merasa di-bully secara verbal.

Kerap menggunakan panggilan ini setiap hari, sehingga akhirnya seluruh teman satu kelas pun memanggil mereka dengan singkatan Mago dan Anggo. Bahkan melebar hingga ke teman-teman ekskul dari kelas lain.

Hingga suatu ketika, Mawar dijemput sang Ayah dan adik saat pulang sekolah. Di gerbang sekolah, salah satu teman berkata dengan riang gembira, "Dadah Magooo... Sampai ketemu besok ya Magooo, Mawar Begooo..."
Mawar pun menanggapi santai dengan keceriaan yang sama.

Menjadi masalah saat kemudian si adik bercerita kepada ibunda di rumah. "Mama.. Kok kakak dikatain Mawar bego sih sama temannya?"
Sang ibu langsung meradang. Dan mengambil kesimpulan instan bahwa anak tercintanya telah menjadi korban bully oleh teman-teman sekelas. Khawatir si anak menjadi pihak marjinal yang tak berani melawan, bahkan tak mampu bercerita kepada ibunda.

Sumber: www.google.com

Malam itu juga, sang Ibu melaporkan kejadian tersebut kepada wali kelas. Dan wali kelas segera mengambil tindakan persuasif kepada siswa sekelas.

Sekitar seminggu kemudian, hal yang sama kembali terulang. Malangnya, kali ini sang Ibu mendengar sendiri dengan telinganya. Saat sedang bersama Mawar mengunjungi guru-guru di sekolahnya terdahulu (SD), salah satu teman menelepon Mawar. Dan Mawar berbicara dengan pengeras suara ponsel yang diaktifkan.

Di penghujung percakapan, kembali teman tersebut berkata, "Sudah dulu ya Magooo, Mawar Bego...".
Ibunda dan para guru SD yang mendengar sontak meradang seketika. Para guru SD Mawar menyarankan sang Ibu untuk melaporkan hal tersebut kepada Tim BK sekolah, bahkan bilamana perlu juga ke Kepsek.

Dan itulah yang dilakukan ibunda. Datang ke ruang BK sekolah dengan berderai air mata. Merasa tidak terima anaknya disebut bego. Tidak terima anak yang dibesarkan dengan kasih sayang, perhatian, diberi makan dan gizi, anak kebanggaan yang berprestasi, ternyata mendapat hinaan dari teman-teman di sekolah.

Kasus kemudian berkembang dengan pemanggilan semua siswa yang pernah menyebut Mawar dengan sebutan Mago (Mawar Bego). Terjaring puluhan siswa.

Setelah ditelusuri, ternyata Mawar bukan lah korban bully verbal. Bukan pula pihak marjinal. Karena Mawar pun pernah menyebut beberapa temannya dengan sebutan anak haram, Anggrek Bego dan lain sebagainya.

Namun bukan berarti pula bahwa Mawar adalah pihak dominan yang melakukan penghinaan verbal kepada teman-temannya. Tidak ada korban atau pun pelaku perisakan/bully dalam kasus ini.
Semua siswa ini berada di posisi yang seimbang.

Mereka saling ngatain, saling menghina, saling memanggil dengan sebutan yang merendahkan, saling memberi julukan dengan istilah yang kurang positif.
Intinya....
Telah terjadi degradasi bahasa yang menjadi budaya di antara siswa milenial ini.


Menurunnya kualitas berbahasa para siswa ini menarik perhatian saya untuk menggali lebih dalam. Dan membuat saya melakukan beberapa eksperimen sosial di dalam kelas, mau pun di Ruang BK.

Saat kegiatan belajar mengajar Bimbingan Konseling di kelas, saya sempat meminta para siswa untuk saling menyebutkan sisi positif teman-teman sekelas. Dan ternyata cukup banyak kosakata ajaib yang terlontar dari bibir para siswa ini.

"Si A anaknya asyik bu, suka mabar."
"Si B orangnya keren,, karena dia barbar."
"Anjayyyy... Dia sih anaknya bucin banget bu..."

Wewwww..
Saya sempat mengerutkan kening, barbar itu dianggap keren?
Apakah sudah terjadi pergeseran makna kata "barbar" dari apa yang tertera di KBBI ya....?

Dan ketika saya tanyakan apa yang dimaksud dengan mabar, barbar, bucin, anjayyy, anjirrr...
Ternyataaaa..
Para siswa ini sempat kesulitan untuk mendeskripsikan makna kata-kata tersebut dengan menggunakan kalimat baku dan kosakata yang baik dan benar.

Setelah menggali lebih dalam karakteristik para siswa yang dijuluki mabar, barbar, bucin dll...
Saya menyimpulkan bahwa mabar adalah akronim dari "main bareng", yang berarti mereka sering berinteraksi atau melakukan kegiatan bersama.
Barbar adalah anak yang memiliki keberanian dan percaya diri sangat tinggi, namun terkadang melakukan tindakan spontan tanpa pikir panjang
BuCin singkatan dari budak cinta, julukan ini disematkan pada mereka yang sedang mengalami kasmaran masa puber dan naksir lawan jenis.

Lalu dimana mereka mendengar istilah-istilah kekinian tersebut?
Mudah ditebak jawabannya, dari tayangan youtube dan ig story para selebritis internet.

Sempat saya meminta para siswa untuk menunjukkan pada saya, tayangan-tayangan yang mereka gemari di internet. Dan saat saya menontonnya bersama mereka, saya jadi memahami mengapa tata bahasa generasi milenial ini sangat menurun kualitasnya dibandingkan generasi 90-an.

Kata-kata yang bagi telinga generasi terdahulu terasa kasar, tak pantas dan tak sopan, kini dianggap lumrah untuk digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Yah seperti julukan-julukan barbar, bego, tolol, anak haram dan lain sebagainya. Tidak ada niat untuk melecehkan atau menghina saat mereka saling mengucapkan itu. Bahkan seringkali dianggap sebagai bahan canda di antara mereka. Namun bagi para orangtua yang mendengarkan, tentu akan beda sikap menerimanya.

Degradasi tata bahasa ini kemudian diasumsikan oleh para generasi tua sebagai degradasi moral perilaku generasi milenial.

Bagi generasi lawas, para remaja ini dianggap tidak sopan, kurang beradab, tak memiliki manner bila ditilik dari pemilihan kata yang diucapkan sehari-hari.
Walau bagaimana pun, benar adanya makna salah satu filosofi Jawa kuno:

Ajine diri ono ing lathi: harga diri seorang manusia itu terletak di ujung lidahnya. Kata-kata yang diucapkan, akan menunjukkan kualitas diri seseorang.

 Kesulitan yang dialami para remaja tanggung ini untuk mendeskripsikan sesuatu dengan menggunakan tata bahasa dan kosakata yang baik dan benar, menunjukkan bahwa mereka minim perbendaharaan kata yang baku, baik dan benar.



Lalu apa penyebab minimnya kosakata yang baik dan benar pada generasi milenial?

1. Sumber Informasi Digital Populer
Hal ini dapat dimaklumi saat kita mengetahui sumber asupan informasi yang mereka terima dari berbagai media digital.
Jika tontonan dengan tata bahasa kacau yang menjadi sumber informasi sehari-hari, maka tidak mengherankan apabila aneka kosakata alay tersebut yang menjadi koleksi dalam memori otak mereka.

Walau cukup banyak sumber informasi resmi di laman internet yang menggunakan tata bahasa baku, namun para remaja cenderung lebih memilih melihat tayangan populer dengan penggunaan bahasa gaul kekinian.


2. Kurang Membaca Media Literasi Cetak
Minimnya minat remaja untuk membaca media cetak, juga turut memiliki andil dalam degradasi bahasa ini.

Padahal, artikel cetak atau digital yang paling ringan sekalipun, biasanya tetap berada dalam koridor penggunaan tata bahasa dan kosakata yang baku. Sehingga bagi mereka yang membacanya, secara tidak langsung dapat menjadi suplai asupan koleksi perbendaharaan kata yang baik dan benar untuk dapat terekam dalam memori otak.


Masalahnya adalah:

 Para remaja ini mayoritas tidak akan mengakses dan membaca artikel-artikel tersebut dengan inisiatif sendiri. Sebab mereka kebanyakan telah lebih dulu terpapar tayangan audio visual sejak balita, jauh sebelum mereka mengenal huruf dan bisa membaca. 
Maka sumber informasi yang hanya bersifat visual tanpa suara, tanpa gerak dinamis tentu saja kurang menarik perhatian untuk dilirik.

Saya kemudian mencoba menggunakan wewenang sebagai seorang guru untuk menggiring mereka membaca artikel dari sumber media cetak. Membaca sumber literasi yang menggunakan kosakata baku yang baik dan benar.

Pojok Baca Bimbingan Konseling di Ruang BK

Kebetulan di dalam Ruang BK sekolah tempat saya mengabdi, ada Pojok Baca dengan berbagai macam buku, jurnal ilmiah, novel inspiratif bahkan komik. Dan setiap jam istirahat tiba, ada saja siswa yang berkunjung ke Ruang BK untuk sekedar berbincang santai atau bermain gitar.

Setiap hari saya coba meminta para siswa ini untuk membaca sumber literasi cetak apa saja yang ada di Pojok Baca, dan menceritakan secara lisan kepada saya isi artikel yang telah mereka baca. Saya bebaskan mereka untuk memilih sumber bacaan yang mereka inginkan.

Fakta menarik yang terjadi dan tidak saya duga adalah, mayoritas dari remaja milenial ini memilih untuk membaca koran dan jurnal ketimbang sumber literasi populer seperti novel atau komik. 

Beberapa contoh Koran dan Jurnal yang dipilih siswa untuk dibaca
               

Dan hal ini terjadi berulang-ulang. Padahal asumsi saya semula, kedua jenis bahan baca yang tergolong berat tersebut tidak mungkin akan dilirik oleh para remaja kekinian. Itu pula alasan saya menyediakan novel dan komik di Pojok Baca BK, agar para siswa tertarik untuk membaca.

Lalu apa sesungguhnya alasan yang mendasari para siswa ini lebih memilih koran dan jurnal ketimbang buku, novel atau komik?



Panjang Artikel 
Jumlah kata pada artikel dalam koran, majalah atau pun jurnal tentu tidak bisa dibandingkan dengan buku dan novel.
Betapa pun menariknya tema novel/ buku/ komik, jumlah kata serta paragraf yang tak terhitung banyaknya sudah lebih dulu menjadi momok yang menyurutkan rasa tertarik para remaja ini. Apalagi bagi mereka yang memang belum memiliki budaya membaca.

Durasi Waktu 
Terlahir sebagai generasi yang serba instan, lama atau sebentar durasi waktu yang diperlukan untuk membaca juga menjadi alasan para remaja ini lebih memilih jurnal ketimbang komik.
Durasi waktu yang diperlukan untuk membaca satu artikel dalam koran/majalah/jurnal cukup memakan waktu beberapa menit. Pastinya jauh lebih cepat dari pada waktu yang tersita untuk membaca buku atau komik yang bisa memakan hitungan jam, bahkan hari.

Tidak membosankan
Dalam tiap edisi koran/majalah/jurnal terdapat beragam artikel dan informasi yang dapat dipilih. Siswa sebagai pembaca dapat memiliki pilihan untuk membaca topik yang menarik minatnya saja. Sedangkan buku, novel atau komik hanya memiliki satu tema cerita yang sama sepanjang ratusan halaman.

Perlu digarisbawahi, para remaja usia 12-15 tahun ini terlahir di era digital yang cenderung serba instan ketimbang beberapa dekade lalu.

Ditambah dengan fakta, bahwa topik apa pun yang kini tersaji di media literasi cetak dalam wujud visual, umumnya dapat juga diperoleh versi digitalnya dalam skema audio visual yang jauh lebih variatif dan menarik.

Karena itu untuk mengenalkan dan membiasakan para remaja ini membaca media literasi dalam koridor tata bahasa yang baik dan benar, bahan membaca yang padat, tidak terlalu panjang dan tidak bertele-tele (seperti artikel koran/jurnal/majalah) merupakan pilihan yang lebih tepat, sebelum melakukan upaya untuk menstimuli mereka membaca buku dan karya sastra lain.

Realita yang terjadi di Pojok Baca BK, ruang kerja saya, selama beberapa bulan terakhir ini bagi saya cukup menjadi fakta yang membuktikan bahwa:

  • Artikel-artikel singkat, padat, jelas yang termuat dalam koran/majalah/jurnal dapat berperan cukup efektif untuk memberi suplai koleksi kosakata yang baik dan benar bagi para remaja milenial.
  • Koran, majalah dan jurnal dalam versi cetak masih relevan untuk tetap digunakan pada era digital ini. 
Dan akhirnya,
Koran, majalah dan jurnal ternyata memiliki peran cukup penting tidak hanya bagi dunia literasi, tapi lebih jauh lagi bagi pembentukan moral dan karakter generasi milenial.

Jadi.....
Mari para sejawat orangtua...
Yuuuk... tetap hadirkan koran dan majalah dalam ruang-ruang keluarga di rumah kita.
Karena koran dan majalah  dapat menjadi koleksi media baca yang murah meriah dan sarat manfaat bagi pembentukan karakter generasi muda penerus bangsa ini.

#sahabatkeluarga
Load disqus comments

3 komentar

Designed By Risa Hananti. Diberdayakan oleh Blogger.