Rabu, 20 November 2019

Strategi Kreatif Lestarikan Cagar Budaya Indonesia Ala IRT

Candi Borobudur


Indonesia adalah budaya.
Dengan sebaran wilayah dari Sabang hingga Merauke.
Dengan bentangan alam yang lengkap, dataran tinggi, dataran rendah, pegunungan, padang rumput, hutan dan perairan.
Tak heran jika Indonesia sarat budaya.

Bukan rahasia umum lagi jika Indonesia kaya akan warisan sejarah dan cagar budaya. Baik berupa adat istiadat, bahasa, benda, bangunan mau pun situs budaya. Beberapa warisan budaya Indonesia bahkan diakui oleh dunia sebagai Keajaiban Dunia.

Pengertian Cagar Budaya dalam UURI No. 11 Tahun 2010 :
“Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.”
Nyaris setiap wilayah di Indonesia memiliki cagar budaya setempat. Yang terdaftar sebagai cagar budaya dalam catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun tak terkira jumlahnya. Untuk yang ingin tahu apa saja warisan cagar budaya bangsa ini, silahkan klik disini.

Sayangnya...
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebanyakan warisan cagar budaya ini berada dalam kondisi yang tak terurus dan kurang terawat. Hingga menimbulkan kerusakan dan berpotensi terancam punah.

Museum Sumpah Pemuda - Jakarta


Salah satu penyebab warisan cagar budaya dan sejarah ini menjadi kurang terawat adalah karena frekwensi pengunjung yang tidak atau belum terlalu banyak. Hukum alam seolah mengatakan bahwa suatu tempat yang ramai pengunjung akan cenderung lebih terawat dibandingkan yang jarang dikunjungi.

Fakta di lapangan pun membuktikannya. Misalnya saja pusat perbelanjaan, yang jumlah pengunjungnya banyak, biasanya lebih terawat dan diperhatikan kualitas kenyamanannya ketimbang yang sepi pengunjung.

Hal ini sangat logis, mengingat biaya perawatan rutin yang tentunya tidak sedikit. Dan pengunjung yang banyak tentu saja turut menyumbang profit bagi pengelola gedung pusat belanja tersebut. Sehingga dana operasional untuk perawatan gedung pun dapat tersedia tanpa kendala.

Selain itu, secara psikologis pun semua orang yang terlibat langsung dengan pengelolaan suatu tempat publik cenderung akan lebih bersemangat melakukan perawatan bila mereka sadar bahwa hasil kerja mereka akan dinikmati dan bermanfaat bagi banyak orang, yaitu para pengunjung.

Gedung Kerta Niaga - Jakarta


Kasus serupa bukan tak mungkin juga terjadi pada bangunan atau situs cagar budaya kita. Jika mengamati beberapa bangunan cagar budaya di Jakarta, maka akan cukup terlihat perbedaan kualitas bangunan yang ramai pengunjung dan yang kekurangan pengunjung.

Misalnya saja Museum di kawasan Kota Tua yang jarang sepi dikunjungi wisatawan lokal dan asing. Terlihat lebih bersih dan lengkap dengan berbagai fasilitas yang menjamin kenyamanan pengunjung ketimbang beberapa museum lain di Jakarta yang tingkat kunjungannya minim.

Tidak mengherankan, sebab biaya retribusi tiket museum sangat murah. Padahal perawatan bangunan dan benda cagar budaya bersejarah di dalamnya kemungkinan membutuhkan perlakuan khusus yang tak murah.

Museum Prasasti - Jakarta


Menarik minat masyarakat Indonesia yang belum memiliki budaya berkunjung ke museum untuk datang memang bukan perkara sepele. Pihak pengelola museum terkadang harus memutar otak menciptakan agenda kegiatan yang cukup menarik masyarakat untuk mau mengunjungi museum.

Sebagai ibu rumah tangga biasa, tentunya saya tidak punya banyak kewenangan untuk membuat beragam program kegiatan di tempat-tempat cagar budaya. Namun jangan remehkan kekuatan ibu rumah tangga untuk melakukan berbagai hal positif bagi bangsa dan negara ini... Uhuk..uhuk..

Kebetulan sejak kecil saya sangat menyukai pelajaran sejarah, karena itu mengajak anak-anak ke berbagai museum atau tempat bersejarah lain sering menjadi agenda liburan keluarga. Dan inilah beberapa hal yang dapat dilakukan para ibu rumah tangga (IRT) yang mungkin dapat turut membantu menarik minat orang lain untuk turut berkunjung ke bangunan atau situs cagar budaya. Yang pada akhirnya dapat berimbas positif pada kualitas perawatan bangunan dan situs cagar budaya.

Unggah Foto/video di Media Sosial

Inilah penyakit klasik para IRT milenial. Segala hal dalam kehidupan kerap diabadikan dalam foto dan video, untuk kemudian diunggah ke akun media sosial. Jangankan saat bepergian, masak nasi gosong pun bisa menjadi bahan curhat dan unggahan di akun medsos pribadi.

Saya pun salah satu pelaku aktif media sosial. Dan kebiasaan saya untuk mengajak anak-anak mengunjungi tempat yang kurang populer rupanya cukup menarik minat banyak orang. Yaaa.. Terus terang saja, saya sangat jarang mengajak anak-anak ke pusat perbelanjaan.

Candi Gebang - Sleman, Yogyakarta

Candi Gebang

Ketika kami mengunjungi Candi Gebang yang kurang populer (bagi warga Jakarta) di sekitar Sleman, lalu mengunggah fotonya di akun media sosial, ternyata banyak teman yang bertanya dan juga menjadi tertarik mengunjungi candi tersebut.

Kekuatan unggahan swafoto kini memang tak bisa diabaikan. Beberapa perjalanan edukasi yang saya lakukan bersama anak-anak ke tempat antah berantah yang sama sekali bukan merupakan kategori tujuan wisata pun dapat membuat orang lain tertarik karena melihat unggahan foto kami di akun media sosial. Bahkan atas desakan beberapa rekan, saya sempat mengadakan paket wisata keluarga ke lokasi-lokasi tersebut.

Sebuah foto tak harus tampil profesional. Obyek foto yang diberi bumbu kisah membumi dibaliknya dapat menjadi magnet daya tarik tertentu untuk memancing netizen datang berkunjung.

Mengadakan Playdate Komunitas di Lokasi Cagar Budaya

Sekali lagi jangan remehkan kekuatan para emak milenial dalam menggalang massa. Sudah menjadi jargon umum bahwa demi anak, para emak rela melakukan apa pun. Tren dunia para IRT kekinian salah satunya adalah menjadi anggota berbagai komunitas, salah satu yang wajib adalah komunitas parenting.

Sekali lagi, saya pun bergabung dalam berbagai komunitas. Beberapa di antaranya adalah komunitas parenting. Di tengah propaganda mendidik anak di era digital agar tak terlalu kecanduan gawai, maka kegiatan luar ruang tanpa gawai kerap menjadi incaran para emak milenial.

Terbukti, beberapa kali saya dan teman-teman mengkoordinir kegiatan liburan luar ruang untuk anak, cukup iklankan di grup-grup WA komunitas atau media sosial, dan peserta yang mendaftar selalu melebihi target. Serta berakhir dengan puluhan calon peserta di daftar tunggu.

Pernah melakukan playdate belajar membatik di Museum Tekstil - Jakarta


Beberapa kali juga pernah mengadakan kegiatan temu, atau istilah terkini disebut playdate, di beberapa museum. Dan nyaris tak pernah sepi peminat. Kegiatan yang dilakukan saat playdate bisa sangat beragam. Mulai dari edukasi isi koleksi museum, hingga membantu petugas kebersihan melakukan tugasnya.

Membawa Pulang Sampah

Kantong sampah menjadi salah satu amunisi wajib yang kami (saya dan anak-anak) bawa saat mengunjungi tempat-tempat bersejarah, terutama yang masih sepi pengunjung. Bukan tanpa sebab.

Membawa pulang kembali sampah pribadi, sekaligus melakukan operasi semut di area cagar budaya.


Berdasarkan beberapa kali pengalaman, fasilitas tempat sampah di lokasi cagar budaya yang belum terlalu populer biasanya tidak terlalu memadai. Sedangkan di lokasi cagar budaya populer, seringkali kami jumpai volume sampah pengunjung melebihi kapasitas tempat sampah yang disediakan pihak pengelola.

Karena itu menyiapkan kantong sampah sendiri, dan kerap membawa pulang kembali sampah kami adalah kontribusi kecil yang dapat kami lakukan untuk merawat bangunan atau situs cagar budaya. Tak hanya sampah pribadi kami. Jika kantong yang kami bawa masih dapat diisi, maka saya dan anak-anak akan biasanya melakukan operasi semut memunguti sampah yang kami temui. Memasukkan ke dalam kantong hingga penuh, dan membawanya pulang untuk dibuang di tempat sampah rumah.

Kegiatan ini sekaligus menjadi edukasi bagi anak-anak, untuk melatih kepekaan dan kepedulian sosial di tempat publik. Terinspirasi dari rasa malu hati ini saat bertemu para wisatawan Jepang yang melakukan operasi semut di area Monas hehe..

Toko Merah - Jakarta

Selain beberapa hal kecil tersebut, saya pun memiliki beberapa usulan bagi pemerintah selaku pengelola bangunan dan situs cagar budaya negeri ini. Ada beberapa hal yang menurut saya mungkin dapat dilakukan untuk merawat dan melestarikan cagar budaya warisan sejarah bangsa.

Pariwisata Berbasis Industri Seni Populer

Industri seni populer dan entertainment kini tidak bisa lagi diremehkan kiprah dan pengaruhnya terhadap perekonomian dan pelestarian cagar budaya bangsa. Mari melongok ke Korea Selatan yang berhasil mengumpulkan devisa tak sedikit berkat mengekspor industri seni-nya ke berbagai penjuru dunia melalui gelompang K-Pop atau Korea Pop.

Kreativitas meramu lagu dan musik, juga skenario dan seni peran telah menimbulkan efek domino terhadap perekonomian Korea Selatan secara makro. Dengan mengorbitkan idola-idola musik, ternyata turut mendongkrak penjualan produk-produk Korea yang lain.

Melalui ekspor  drama miniseri televisi, selain meraup keuntungan dari royalti penjualan film, efek domino pun dirasakan oleh bidang industri yang lain. Seperti makanan dan masakan khas Korea Selatan yang ikut menanjak pamornya karena turut terpampang dalam berbagai adegan film. Produk-produk kecantikan merk Korea Selatan pun kian populer di seluruh dunia.

Tak hanya itu, spot-spot lokasi syuting film pun kian dikenal hingga menjadi destinasi wisata bagi wisatawan lokal maupun internasional.

Di tanah air tercinta, selama ini sudah ada dua film yang secara nyata berhasil mempopulerkan beberapa destinasi wisata daerah. Lokasi syuting film yang semula hanya bangunan tua tanpa keindahan alam pun kini menjadi tujuan wisata yang laris manis setelah film tersebut meledak. Kedua film tersebut adalah Laskar Pelangi dan Ada Apa Dengan Cinta 2.

Bangunan tiruan gedung sekolah Ikal cs dalam film Laskar Pelangi.


Bangunan sekolah tua yang lebih mirip gudang hampir roboh di Bangka Belitung, kini menjadi tujuan wisata berbayar yang ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai daerah setelah film Laskar Pelangi meledak di pasaran. Tak hanya bangunan sekolah tua saja. Deretan pantai berbatu raksasa yang menjadi spot lain film tersebut pun kini menjadi salah satu surga pariwisata di Bangka Belitung. Padahal saat film Laskar Pelangi dibuat, Bangka Belitung belum menjadi destinasi wisata populer seperti Bali.

 Yogyakarta, sebagai lokasi syuting film Ada Apa Dengan Cinta 2, memang telah lama dikenal sebagai salah satu tujuan wisata favorit tanah air selain Bali. Warga Yogyakarta memang salah satu kumpulan manusia paling kreatif di nusantara.

Setelah film AADC 2 beredar, titik tujuan wisata di Yogyakarta kian bertambah. Para agen perjalanan wisata melirik peluang dari kesuksesan film ini. Kini wisata AADC 2 menjadi salah satu menu andalan pariwisata Yogyakarta.

Gereja Ayam menjadi salah satu tujuan wisata favorit setelah film AADC 2 laris di pasaran.


Paket wisata AADC 2 ini meliputi kunjungan ke berbagai lokasi syuting film tersebut. Seperti galeri seni tempat Rangga dan Cinta pertama kali bertemu kembali setelah terpisah belasan tahun. Atau pasar tempat Cinta dan kawan-kawan menyantap sarapan gudeg, café dan kedai kopi dimana Cinta dan Rangga menghabiskan waktu, hingga bangunan gereja ayam. Nominal yang harus dibayar untuk menikmati paket wisata AADC 2 ini pun terhitung lumayan harganya.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bukan tidak mungkin dapat mengikuti contoh tersebut. Misalnya mengadakan perlombaan menulis novel, cerita pendek atau cerita bersambung dengan latar belakang tempat kejadian yang berlangsung di lokasi cagar budaya. Lalu memasarkan dan mempromosikan hasil karya para pemenang melalui berbagai jalur promosi di media massa dan digital.

Kemudian dapat pula sekalian menggaet rumah produksi, sutradara yang mumpuni di bidangnya untuk memproduksi sebuah film yang menggunakan setting lokasi di bangunan atau situs cagar budaya.  Bila perlu menggunakan bintang-bintang film yang berdedikasi tinggi dalam pembuatannya.

Promo film yang masif dan menjual akan membuat film tersebut sukses di pasaran. Dan efek domino dari kesuksesan novel dan film dapat berimbas positif bagi pengembangan pariwisata di cagar budaya tersebut. Yang pada akhirnya berimbas pada peningkatan kualitas perawatan dan pelestarian bangunan dan situs cagar budaya.

Kanal Kali Besar - Jakarta

Tentu tak menutup kemungkinan apabila pembuatan film akan memakan biaya cukup banyak. Namun setidaknya, ongkos produksi pembuatan film ditanggung bersama dengan produser dan pemberi sponsor. Pihak rumah produksi film Boemi Manusia bahkan rela membangun setting sebuah kota fiktif untuk menjadi lokasi syuting. Area syuting tersebut saat ini bahkan menjadi obyek wisata baru yang cukup diminati seiring kesuksesan film tersebut.

Memanfaatkan industri seni populer ini bisa menjadi salah satu langkah awal yang layak dipertimbangkan untuk menjadi solusi dilema pengembangan pariwisata bangunan dan situs cagar budaya yang masih kurang populer. Minat dan kunjungan wisatawan dapat menjadi pemicu positif bagi perawatan dan pelestarian cagar budaya warisan sejarah bangsa yang besar ini.

Para emak milenial juga dapat berpartisipasi dalam upaya pelestarian cagar budaya bangsa dari rumah loh.. Salah satu caranya dengan turut menyebarkan link tulisan ini, atau turut bergerak aktif menuliskan segala ide kreatif emak untuk merawat cagar budaya dengan mengikuti Kompetisi Blog Cagar Budaya Indonesia yang diadakan oleh Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Kebudayaan, Kemdikbud. Info lengkap sila meluncur ke Sini.



Yuuuukk....
Berkontribusi semampu kita untuk turut merawat dan melestarikan cagar budaya warisan sejarah bangsa agar tak punah oleh waktu. Beri kesempatan anak cucu kita di masa depan untuk mengenal jejak kebesaran bangsa ini.

Load disqus comments

0 komentar

Designed By Risa Hananti. Diberdayakan oleh Blogger.