Jumat, 06 Desember 2019

Pendidikan Formal Merata tanpa Guru Honorer, Lahirkan SDM Unggul



"Dunia usaha akan mengupayakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, yaitu pertumbuhan ekonomi yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang layak, mengurangi tingkat kemiskinan dan tingkat ketimpangan ekonomi. Sehingga tercipta pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan." demikian ungkap Rosan P Roesiani, Ketua Umum Kadin Indonesia dalam Rapimnas Kadin 2019 yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, 28-29 November 2019 lalu.

Selain itu, terdapat pula beberapa poin lain sebagai hasil Rapimnas Kadin 2019 (selengkapnya dapat dilihat di https://www.kadin.id/ ). Salah satunya adalah tentang keberlanjutan akreditasi penerbitan sertifikasi atau surat keterangan kompetensi.  Hasil Rapimnas Kadin 2019 ini sejalan dengan program prioritas pemerintah dan turut berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Terkait dengan sertifikasi profesi dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia, maka tentu tak dapat dilepaskan dari kualitas pendidikan. Standar kompetensi dan kualitas pendidikan seseorang adalah dua hal yang selalu berjalan beriringan. Dan bila bercita-cita akan terciptanya ekonomi yang berkeadilan, tak pelak keadilan dan pemerataan pendidikan turut menjadi bagian di dalamnya.

Bicara tentang masalah pendidikan di nusantara tercinta ini memang bagaikan bergelung dengan lingkaran setan yang tak berujung pangkal. Banyak sekali tantangan yang harus dihadapi oleh dunia pendidikan nasional Indonesia. Sebut saja masalah kompetensi guru yang ternyata sangat minim, fasilitas pendidikan yang jauh lebih minim lagi, pemerataan tenaga guru yang berimbas pada ketidakseimbangan pemerataan pendidikan, hingga pelaksanaan ujian kelulusan yang tak henti menuai kontroversi.


Bila membahas lebih lanjut tentang pemerataan pendidikan di negara ini tentu akan ada banyak pasal yang dapat diulik. Secara subyektif, penulis berpendapat bahwa pemerataan pendidikan hingga ke pelosok desa, dan terutama di wilayah-wilayah perbatasan terluar Indonesia adalah salah satu masalah pendidikan yang pertama dan utama harus ditangani terlebih dahulu ketimbang sibuk memikirkan format sistem dan kurikulum pendidikan nasional yang harus diubah dan diperbarui.

Fasilitas dan sarana prasarana maupun sumber daya manusia untuk memajukan pendidikan di wilayah-wilayah perbatasan dengan negara lain sangat krusial dan butuh perhatian khusus. Tidak hanya berkaitan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan masyarakat wilayah perbatasan. Namun lebih jauh lagi hal ini penting dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menjaga keamanan dan keutuhan wilayah dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kita dapat mengambil pelajaran berharga dari runtuhnya kejayaan keluarga dinasti-dinasti Cina yang umumnya menurut sejarah runtuh bukan karena ancaman serangan dari luar bangsa Cina, tetapi lebih banyak karena pemberontakan suku-suku minoritas yang merasa dianaktirikn oleh pemerintah pusat, atau warga wilayah perbatasan yang sukarela menjadi mata-mata negara lain karena merasa tidak diperhatikan.

Dalam bukunya The Last Emperor, Paul Kramer secara implisit menyatakan bahwa pemerintahan Cina modern telah melakukan suatu langkah yang cerdas untuk menjaga kesetiaan suku minoritas dan warga perbatasan khususnya, agar tidak membelot atau menjadi mata-mata negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Cina, dengan cara memberi kuota khusus dalam parlemen bagi wakil warga perbatasan dan suku minoritas. Termasuk memberi perhatian khusus bagi kesejahteraan hidup warga perbatasan, diantaranya adalah sarana dan prasarana pendidikan.

Indonesia merupakan negara kepulauan terluas di dunia yang berbatasan langsung dengan beberapa negara. Bukan berita baru jika banyak warga pebatasan yang lebih sering menjual hasil ladangnya ke negara tetangga. Juga bukan hal yang langka jika warga perbatasan lebih mudah mendapatkan barang-barang  kebutuhan dasar hidup di negara tetangga karena akses jalan dan transportasi ke negara tetangga yang lebih memadai daripada menuju pasar negeri sendiri.



Fakta juga berbicara, bahwa sejak Indonesia merdeka, masih banyak wilayah perbatasan yang masih tidak memiliki akses pendidikan karena pemerintah luput menyediakan sarana dan tenaga guru pendidik untuk mereka. Sehingga tak sedikit anak-anak usia sekolah di wilayah terluar Indonesia yang tidak pernah melakukan penghormatan pada bendera merah putih saat upacara. Mereka tidak pernah menghafal dan melantunkan bait-bait Indonesia Raya, atau pun berpartisipasi dalam gempita perayaan kemerdekaan Indonesia setiap tanggal 17 Agustus.

Seharusnya hal ini menjadi pemikiran serius bagi para pejabat yang berkuasa. Karena mereka adalah orang-orang wilayah perbatasan yang berdasarkan penampilan, bahasa dan kebiasaan mereka, bisa lalu lalang tanpa menimbulkan kecurigaan melalui sejumlah jalan terpencil dari Indonesia menuju negara tetangga dengan membawa berbagai misi kekerasan, subversi dan mata-mata yang telah menjadi bagian integral dari persaingan Negara modern di era globalisasi ini.

 Jika pemerintahan pusat Cina di Beijing tidak bisa meyakini bahwa orang-orang perbatasannya tidak akan dimanfaatkan dan dimanipulasi oleh pihak-pihak asing kecuali dengan menjaga kesetiaan kaum perbatasan dalam bentuk membagi kekuasaan parlemen dengan wakil warga perbatasan dan suku minoritas. Serta selalu berusaha menjamin kesejahteraan mereka semaksimal mungkin, termasuk dalam hal jaminan pendidikan bagi warga. Lalu bagaimana dengan pemerintah Indonesia yang memiliki ratusan ribu pulau, ratusan suku bangsa, puluhan garis pantai dan berbatasan langsung dengan beberapa negara sekaligus?

Bicara tentang pemerataan pendidikan hingga garis batas terluar negeri ini, tentu tidak dapat dilepaskan dari pemenuhan kebutuhn guru dan pemerataan tenaga pendidik yang berkualitas Fakta unik yang terjadi adalah, menurut Departemen Pendidikan rasio jumlah guru dan murid di Indonesia adalah 1 : 15.  Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia rasio jumlah guru dan murid di Indonesia tergolong yang “termewah” di dunia. Misalnya saja dibandingkan dengan rasio guru dan murid di Amerika yang perbandingannya 1 : 20, atau dengan Korea Selatan yang berbanding 1 : 30.

Namun ironisnya masih banyak wilayah terpencil di Indonesia yang kekurangan tenaga pengajar. Bahkan sama sekali tidak memiliki fasilitas pendidikan. Dan fakta di lapangan yang terjadi adalah, meskipun rasio guru dan murid adalah 1 : 15, namun mayoritas guru di lapangan ternyata harus menghadapi rata-rata 30-40 orang siswa dalam setiap kelas rombongan belajar.

Hal ini terjadi karena adanya desentralisasi tenaga guru terutama guru honorer. Distribusi guru yang tidak merata dan kebanyakan hanya terpusat di wilayah perkotaan. Namun masih banyak wilayah desa, pelosok dan perbatasan yang tak tersentuh pendidikan dasar minimal hingga tingkat sekolah menengah atas.

Keberadaan guru honorer di sekolah negeri pun menjadi pilihan solusi. Meskipun selama ini menimbulkan polemik yang tidak sedikit. Karena sistem perekrutan guru honorer yang menjadi hak otonomi kepala sekolah, sehingga sarat dengan praktek kolusi dan nepotisme. Sudah menjadi rahasia umum dunia pendidikan bahwa sering terjadi saling sikut dan persaingan tidak sehat antar sesama guru honorer.

Sampai timbul istilah bahwa seorang sarjana Keguruan dan Ilmu Pendidikan mustahil dapat menjadi guru honorer di sekolah negeri tanpa bantuan “orang dalam” atau koneksi di sekolah negeri. Namun peminat posisi guru honorer tidak pernah surut kendati gaji guru honorer di Indonesia tergolong tidak manusiawi karena rata-rata hanya berkisar Rp 200.000-400.000/ bln. Itu karena para guru honorer menggantungkan harapan untuk dapat diangkat menjadi guru PNS suatu saat kelak. Dan tergiur dengan nominal gaji guru PNS yang memang terbilang cukup besar saat ini.

Idealnya memang tidak perlu ada perekrutan guru honorer bila distribusi guru bisa dilakukan dengan merata hingga ke pelosok dan daerah terpencil. Penulis berpendapat, sebaiknya pemerintah menghentikan penerimaan guru honorer. Dan segera mengangkat semua guru honorer secara bertahap menjadi guru PNS.

Di masa yang akan datang mungkin Departemen Pendidikan dapat belajar atau mengadopsi sistem dan teknis perekrutan personil kepolisian atau TNI. Karena jika menilik kebutuhan sumber daya manusia, beberapa instansi pemerintah lain pun memiliki kebutuhan untuk mendistribusikan sumber daya manusia hingga ke pelosok desa dan wiayah perbatasan.

Antara lain personil polisi, tentara, petugas perpajakan, petugas administrasi pemerintahan pun dibutuhkan hingga ke pelosok desa dan area perbatasan. Namun nyaris tidak pernah terdengan berita bahwa di wilayah tertentu mengalami kekurangan tenaga polisi, atau tentara, atau petugas pajak.

Seperti yang kita ketahui bersama, instansi-instansi tersebut melakukan perekrutan sumber daya manusia sejak masa pendidikan tinggi para pegawai tersebut. Kepolisian memiliki Akademi Kepolisian untuk merekrut personil-personil polisi sejak mereka lulus SMA. TNI pun memiliki akademi ketentaraan untuk masing-masing angkatan bersenjata. Demikian juga Departemen Keuangan yang tidak pernah kekurangan petugas pajak dan bea cukai karena memiliki Sekolah Tinggi Akutansi Negara atau STAN. Pegawai-pegawai pemerintahan hingga tingkat kelurahan pun telah direkrut oleh Departemen Dalam Negeri sejak masa pendidikan tinggi melalui STPDN dan APDN.



Sistem perekrutan yang dilakukan Akpol, STAN atau STPDN/ APDN pun tidak jauh berbeda. Sejak masa pendidikan tinggi atau kuliah, para mahasiswa instansi tersebut telah diikat dengan ikatan dinas dan setelah lulus otomatis akan menjadi pegawai negeri. Umumnya perekrutan mahasiswa di lakukan di tingkat provinsi atau wilayah masing-masing. Jumlah mahasiswa yang diterima pun dibatasi sesuai kebutuhan di wilayah masing-masing dan melalui seleksi yang cukup ketat. Dan kelak setelah lulus para mahasiswa itu pun akan kembali mengabdi di wilayah asal mereka.  Sehingga distribusi sumber daya manusia instansi-instansi tersebut terbilang lebih merata dari pada distribusi guru. 

Bukan tidak mungkin Departemen Pendidikan dapat mengadopsi sistem serupa dengan melakukan beberapa penyesuaian. Karena saat ini toh Departemen Pendidikan sudah memiliki Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan hampir di semua perguruan tinggi negeri di tiap provinsi. Sehingga infrastruktur dasar yang dibutuhkan sudah tersedia. Hanya tinggal mengolah sistem dan kebijakan perekrutan dan penugasan para guru ini.

Pemerataan pendidikan hingga ke titik terluar wilayah NKRI adalah salah satu syarat mutlak untuk mewujudkan meratanya jumlah SDM  generasi muda bangsa yang unggul dan kompeten di bidangnya. SDM unggul kompeten akan menjadi pribadi-pribadi yang kreatif dan produktif.

Dan pada akhirnya, kreativitas dan produktivitas ini akan memacu peningkatan standard ekonomi dan kesejahteraan. Karena itu, pemerataan pendidikan adalah kunci utama bagi kesejahteraan ekonomi yang merata dan berkeadilan ke seluruh nusantara.

Load disqus comments

1 komentar:

Designed By Risa Hananti. Diberdayakan oleh Blogger.